Blue Fire Pointer

PERJUANGAN RAKYAT MELAWAN PENJAJAH BELANDA


  Bangsa Belanda pernah menguasai Indonesia lebih dari 300 tahun. Dalam kurun waktu itu, berkali-kali rakyat Indonesia mengadakan perlawanan. Pada bagian ini kita akan membahas tentang kedatangan Bangsa Belanda ke Indonesia, bentuk-bentuk penindasan Bangsa Belanda, dan perjuangan menentang penjajahan Bangsa Belanda.
    
    1.   Kedatangan Bangsa Belanda
Bangsa Eropa mulai mencari barangbarang kebutuhan sehari-hari, seperti buah-buahan, rempah-rempah, wol, porselin , dan lain-lain dari negara-negara di luar Eropa. Indonesia, terkenal sebagai tempat penghasil rempah-rempah. Rempah- rempah yang dihasilkan bangsa Indonesia digunakan sebagai bahan obatobatan, penyedap makanan, dan pengawet makanan. Maka, berlomba-lombalah Bangsa Eropa untuk mendapatkan rempah-rempah dari Indonesia. Bangsa Belanda sampai ke Indonesia pada tanggal 22 Juni 1596. Armada Belanda berhasil mendarat di Banten, Jawa Barat. Pada awalnya, kedatangan Bangsa Belanda disambut baik oleh Sultan Banten. Kegiatan perdagangan menjadi ramai. Namun, hal itu tidak berlangsung lama. Bangsa Belanda berubah menjadi serakah dan kasar. Sikap itu menyebabkan mereka dimusuhi dan diusir dari Banten.  

2. Penindasan lewat VOC
Dua tahun setelah kedatangan pertama, bangsa Belanda datang lagi ke Indonesia. Kali ini mereka bersikap baik dan ramah. Belanda dapat diterima kembali di Indonesia. Banyak pedagang Belanda datang ke Indonesia. Hal ini mengakibatkan terjadinya persaingan dagang dan pertikaian di antara mereka. Akibatnya, harga rempah-rempah tidak terkendali. Untuk
menghindari pertikaian yang lebih parah pada tanggal 20 Maret 1602 dibentuk Perkumpulan Dagang Hindia Timur atau Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC). Mula-mula kegiatan VOC hanya berdagang. Akan tetapi, lama-kelamaan VOC berusaha menguasai perdagangan (monopoli). Untuk mewujudkan maksud itu VOC membentuk tentara, mencetak mata uang sendiri, dan mengadakan perjanjian dengan raja-raja setempat.
Di Maluku VOC melakukan Pelayaran Hongi (patroli laut) untuk mengawasi rakyat Maluku agar tidak menjual rempah-rempah mereka kepada pedagang lain. Untuk mempertahankan harga, VOC juga memerintahkan penebangan sebagian pohon rempah-rempah milik rakyat. VOC memberikan hukuman berat kepada rakyat yang melanggar aturan monopoli itu.
Pusat-pusat perdagangan yang dikuasai VOC adalah Ambon, Jayakarta, dan Banda. Pusat perdagangan Jayakarta direbut Belanda pada masa Gubernur Jenderal J.P. Coen. Ia mengganti nama Jayakarta menjadi Batavia. Coen kemudian membangun kota Batavia dengan gaya Belanda. Kantor VOC yang semula ada di Ambon dipindahkan ke Batavia. VOC mampu berdiri dalam waktu yang sangat lama. Pada Tanggal 31 Desember 1799, VOC dibubarkan. VOC dibubarkan karena sebab-sebab berikut ini :

  1. Pejabat-pejabat VOC melakukan korupsi dan hidup mewah.
  2. VOC menanggung biaya perang yang sangat besar.
  3. Kalah bersaing dengan pedagang Inggris dan Prancis.
  4. Para pegawai VOC melakukan perdagangan gelap.
Pada tanggal 1 Januari 1800, kekuasaan VOC di Indonesia digantikan langsung oleh pemerintah Kerajaan Belanda. Semua hutang VOC ditanggung oleh Kerajaan Belanda. Sejak saat itu, Indonesia diperintah lansung oleh pemerintah Belanda. Pemerintahan Kerajaan Belanda atas wilayah Indonesia ini berlansung sampai tahun 1942. Pemerintah Belanda di Indonesia dinamakan Pemerintahan Hindia Belanda.

3. Penindasan lewat kerja paksa, penarikan pajak, dan tanam paksa
Pada tahun 1806, Napoleon Bonaparte berhasil menaklukkan Belanda. Napoleon mengubah bentuk negara Belanda dari kerajaan menjadi republik. Napoleon ingin memberantas penyelewengan dan korupsi serta mempertahankan Pulau Jawa dari Inggris. Ia mengangkat
Herman Willem Daendels menjadi Gubernur Jenderal di Batavia. Untuk menahan serangan
Inggris, Daendels melakukan tiga hal, yaitu :

  1. menambah jumlah prajurit,
  2. membangun pabrik senjata, kapal-kapal baru, dan pos-pos pertahanan,
  3. membangun jalan raya yang menghubungkan pos satu dengan pos lainnya.
Daendels memberlakukan kerja paksa tanpa upah untuk membangun jalan. Kerja paksa ini dikenal dengan nama kerja rodi. Rakyat dipaksa membangun Jalan Raya Anyer-Panarukan yang panjangnya sekitar 1.000 km. Jalan ini juga dikenal dengan nama Jalan Pos. Selain untuk membangun jalan raya, rakyat juga dipaksa menanam kopi di daerah Priangan untuk pemerintah Belanda. Banyak rakyat Indonesia yang menjadi korban kerja rodi. Untuk mendapatkan dana biaya perang pemerintah kolonial Belanda menarik pajak dari rakyat. Rakyat diharuskan membayar pajak dan menyerahkan hasil bumi kepada pemerintah Hindia Belanda. Pada tahun 1811, Daendels dipanggil ke Belanda. Ia digantikan oleh Gubernur Jenderal Janssens. Saat itu pasukan Inggris berhasil mengalahkan Belanda di daerah Tuntang, dekat Salatiga, Jawa Tengah. Gubernur Jenderal Janssens terpaksa menandatangani Perjanjian Tuntang. Berikut ini isi Perjanjian Tuntang : 

  1. Seluruh wilayah jajahan Belanda di Indonesia diserahkan kepada Inggris.
  2. Adanya sistem pajak/sewa tanah.
  3. Sistem kerja rodi dihapuskan.
  4. Diberlakukan sistem perbudakan.
Inggris berkuasa di Indonesia selama lima tahun (1811-1816). Pemerintah Inggris mengangkat Thomas Stamford Raffles menjadi Gubernur Jenderal di Indonesia. Pemerintah memberlakukan sistem sewa tanah yang dikenal dengan nama landrente. Rakyat yang menggarap tanah diharuskan menyewa dari pemerintah. Pada tahun 1816, Inggris menyerahkan wilayah Indonesia kepada Belanda. Pemerintah Belanda menunjuk Van Der
Capellen sebagai gubernur jenderal. Van Der Capellen mempertahankan monopoli
perdagangan yang telah dimulai oleh VOC dan tetap memberlakukan kerja paksa.

  1. Pada tahun 1830, Van Der Capellen diganti Van Den Bosch. Bosch mendapat tugas mengisi kas Belanda yang kosong. Ia memberlakukan tanam paksa atau cultuur stelsel untuk mengisi kas pemerintah yang kosong. Van Den Bosch membuat aturanaturan untuk tanam paksa sebagai berikut.Rakyat wajib menyediakan 1/5 dari tanahnya untuk ditanami tanaman yang laku di pasaran Eropa.
  2. Tanah yang dipakai untuk tanamam paksa bebas dari pajak.
  3. Hasil tanaman diserahkan kepada Belanda.
  4. Pekerjaan untuk tanam paksa tidak melebihi pekerjaan yang diperlukan untuk menanam padi.
  5. Kerusakan-kerusakan yang tidak dapat dicegah oleh petani menjadi tanggungan Belanda.
  6. Rakyat Indonesia yang bukan petani harus bekerja 66 hari tiap tahun bagi pemerintah Hindia Belanda.
Kenyataannya, ada banyak penyelewengan dari ketentuan itu. Misalnya, tanah yang harus disediakan oleh petani melebihi luas tanah yang telah ditentukan, rakyat harus menanggung kerusakan hasil panen, rakya harus bekerja lebih dari 66 hari, dan lain-lain. Akhirnya ketentuanketentuan yang diatur dalam tanam paksa tidak berlaku sama sekali.
Pemerintah Belanda semakin bertindak sewenang-wenang. Tanam paksa mengakibatkan penderitaan luar biasa bagi rakyat Indonesia. Hasil pertanian menurun. Rakyat mengalami kelaparan. Akibat kelaparan banyak rakyat yang mati. Sebaliknya, tanam paksa ini memberikan
keuntungan yang melimpah bagi Belanda. Namun, masih ada orang Belanda yang peduli terhadap nasib rakyat Indonesia. Di antaranya adalah Douwes Dekker. Ia mengecam tanam paksa melalui bukunya yang berjudul Max Havelaar, dengan nama samaran Multatuli. Max Havelaar menceritakan penderitaan bangsa Indonesia sewaktu dilaksanakan tanam paksa.
Max Havelaar menggegerkan seluruh warga Belanda. Timbul perdebatan hebat tentang tanam paksa di negeri Belanda. Akhirnya, Parlemen Belanda me-mutuskan untuk menghapus tanam paksa secepatnya.

4. Perlawanan menentang penjajahan Belanda
Monopoli perdagangan, kerja paksa, penarikan pajak, sewa tanah, dan tanam paksa menimbulkan banyak kerugian dan membuat sengsara rakyat Indonesia. Rakyat Indonesia tidak tahan lagi. Rakyat Indonesia melakukan perlawanan memperjuangkan martabat dan kemerdekaannya. Dari seluruh penjuru tanah air timbul perlawanan terhadap penjajah Belanda. Perhatikan peta perlawanan-perlawanan yang terjadi pada Gambar 6.6 di halaman 136 atas! Kita akan membahas beberapa di antaranya.

a. Perlawanan terhadap VOC
Pada saat VOC berkuasa di Indonesia terjadi beberapa kali perlawanan. Pada tahun 1628 dan 1629, Mataram melancarkan serangan besar-besaran terhadap VOC di Batavia. Sultan Agung mengirimkan ribuan prajurit untuk menggempur Batavia dari darat dan laut. Di Sulawesi Selatan VOC mendapat perlawanan dari rakyat Indonesia di bawah pimpinan Sultan Hassanuddin. Perlawanan terhadap VOC di Pasuruan Jawa Timur dipimpin oleh Untung Suropati. Sementara Sultan Ageng Tirtayasa mengobarkan perlawanan di daerah Banten.

b. Perlawanan Pattimura (1817)
Belanda melakukan monopoli perdagangan dan memaksa rakyat Maluku menjual hasil rempah-rempah hanya kepada Belanda, menentukan harga rempah-rempah secara semena-mena, melakukan pelayaran hongi, dan menebangi tanaman rempahrempah milik rakyat. Rakyat Maluku berontak atas perlakuan Belanda. Dipimpin oleh Thomas Matulessi yang nantinya terkenal dengan nama Kapten Pattimura, rakyat Maluku melakukan perlawanan pada tahun
1817. Pattimura dibantu oleh Anthony Ribok, Philip Latumahina, Ulupaha, Paulus Tiahahu, dan seorang pejuang wanita Christina Martha Tiahahu. Perang melawan Belanda meluas ke berbagai daerah di Maluku, seperti Ambon, Seram, Hitu, dan lain-lain.
Belanda mengirim pasukan besarbesaran. Pasukan Pattimura terdesak dan bertahan di dalam benteng. Akhirnya, Pattimura dan kawan-kawannya tertawan. Pada tanggal 16 Desember 1817, Pattimura dihukum gantung di depan Benteng Victoria di Ambon.

c. Perang Padri (1821-1837)
Perang Padri bermula dari pertentangan antara kaum adat dan kaum agama (kaum Padri). Kaum Padri ingin memurnikan pelaksanaan agama Islam. Gerakan Padri itu ditentang oleh kaum adat. Terjadilah bentrokan- bentrokan antara keduanya. Karena terdesak, kaum adat minta bantuan kepada Belanda. Belanda bersedia membantu kaum adat dengan imbalan sebagian wilayah Minangkabau. Pasukan Padri dipimpin oleh Datuk Bandaro. Setelah beliau wafat diganti oleh Tuanku Imam Bonjol. Pasukan Padri dengan taktik perang gerilya, berhasil mengacaukan pasukan Belanda. Karena kewalahan, Belanda mengajak berunding. Pada tahun
1925 terjadi gencatan senjata. Belanda mengakui beberapa wilayah sebagai daerah kaum Padri. Perang Padri meletus lagi setelah Perang Diponegoro berakhir. Tahun 1833 terjadi pertempuran hebat di daerah Agam. Tahun 1834 Belanda mengepung pasukan Bonjol. Namun pasukan Padri dapat bertahan sampai dengan tahun 1837. Pada tanggal 25 Oktober 1837, benteng Imam Bonjol dapat diterobos. Beliau tertangkap dan ditawan.

d. Perang Diponegoro (1925-1830)
Perang Diponegoro berawal dari kekecewaan Pangeran Diponegoro atas campur tangan Belanda terhadap istana dan tanah tumpah darahnya. Kekecewaan itu memuncak ketika Patih Danureja atas perintah Belanda memasang tonggak-tonggak untuk membuat rel kereta api melewati makam leluhurnya. Dipimpin Pangeran Diponegoro, rakyat Tegalrejo menyatakan perang melawan Belanda tanggal 20 Juli 1825. Diponegoro dibantu oleh Pangeran Mangkubumi sebagai penasehat, Pangeran Ngabehi Jayakusuma sebagai panglima, dan Sentot Ali Basyah Prawiradirja sebagai panglima perang. Pangeran Diponegoro juga didukung oleh para ulama dan bangsawan. Daerah-daerah lain di Jawa ikut berjuang melawan Belanda. Kyai Mojo dari Surakarta mengobarkan Perang Sabil. Antara tahun 1825-1826 pasukan Diponegoro mampu mendesak pasukan Belanda. Pada tahun 1827, Belanda mendatangkan bantuan dari Sumatra dan Sulawesi. Jenderal De Kock menerapkan taktik perang benteng stelsel. Taktik ini berhasil mempersempit ruang gerak pasukan Diponegoro. Banyak pemimpin pasukan Pangeran Diponegoro gugur dan tertangkap. Namun demikian, pasukan Diponegoro tetap gigih. Akhirnya, Belanda mengajak berunding. Dalam perundingan
yang diadakan tanggal 28 Maret 1830 di Magelang, Pangeran Diponegoro ditangkap Belanda. Beliau diasingkan dan meninggal di Makassar.

e. Perang Banjarmasin (1859-1863)
Penyebab perang Banjarmasin adalah Belanda melakukan monopoli perdagangan
dan mencampuri urusan kerajaan. Perang Banjarmasin dipimpin oleh Pangeran Antasari.
Beliau didukung oleh Pangeran Hidayatullah. Pada tahun 1862 Hidayatullah ditahan Belanda dan dibuang ke Cianjur. Pangeran Antasari diangkat rakyat menjadi Sultan. Setelah itu perang meletus kembali. Dalam perang itu Pangeran Antasari luka-luka dan wafat.
f. Perang Bali (1846-1868)

Penyebab perang Bali adalah Belanda ingin menghapus hukum tawan karang dan memaksa Raja-raja Bali mengakui kedaulatan Belanda di Bali. Isi hukum tawan karang adalah kerajaan berhak merampas dan menyita barang serta kapal-kapal yang terdampar di Pulau Bali. Raja-raja Bali menolak keinginan Belanda. Akhirnya, Belanda menyerang Bali. Belanda melakukan tiga kali penyerangan, yaitu pada tahun 1846, 1848, dan 1849. Rakyat Bali mempertahankan tanah air mereka. Setelah Buleleng dapat ditaklukkan, rakyat Bali mengadakan perang puputan, yaitu berperang sampai titik darah terakhir. Di antaranya Perang Puputan Badung (1906), Perang Puputan Kusumba (1908), dan Perang Puputan Klungkung (1908). Salah saut pemimpin perlawanan rakyat Bali yang terkenal adalah Raja Buleleng dibantu oleh Gusti Ketut Jelantik.

g. Perang Sisingamangaraja XII (1870-1907)
Pada saat Sisingamangaraja memerintah Kerajaan Bakara, Tapanuli, Sumatera Utara,
Belanda datang. Belanda ingin menguasai Tapanuli. Sisingamangaraja beserta rakyat Bakara mengadakan perlawanan. Tahun 1878, Belanda menyerang Tapanuli. Namun, pasukan
Belanda dapat dihalau oleh rakyat. Pada tahun 1904 Belanda kembali menyerang tanah Gayo. Pada saat itu Belanda juga menyerang daerah Danau Toba. Pada tahun 1907, pasukan Belanda menyerang kubu pertahanan pasukan Sisingamangaraja XII di Pakpak. Sisingamangaraja gugur dalam penyerangan itu. Jenazahnya dimakamkan di Tarutung, kemudian dipindahkan ke Balige.

h. Perang Aceh (1873-1906)
Sejak terusan Suez dibuka pada tahun 1869, kedudukan Aceh makin penting baik dari segi strategi perang maupun untuk perdagangan. Belanda ingin menguasai Aceh. Sejak tahun 1873 Belanda menyerang Aceh. Rakyat Aceh mengadakan perlawanan di bawah pemimpin-pemimpin Aceh antara lain Panglima Polim, Teuku Cik Ditiro, Teuku Ibrahim, Teuku Umar, dan Cut Nyak Dien. Meskipun sejak tahun 1879 Belanda dapat menguasai Aceh, namun wilayah pedalaman dan pegunungan dikuasai pejuang-pejuang Aceh. Perang gerilya membuat pasukan Belanda kewalahan. Belanda menyiasatinya dengan stelsel konsentrasi, yaitu memusatkan pasukan supaya pasukannya dapat lebih terkumpul.
Belanda mengirim Dr. Snouck Hurgronje untuk mempelajari sistem kemasyarakatan penduduk Aceh. Dari penelitian yang dibuatnya, Hurgronje menyimpulkan bahwa kekuatan
Aceh terletak pada peran para ulama. Penemuannya dijadikan dasar untuk membuat siasat perang yang baru. Belanda membentuk pasukan gerak cepat (Marchose) untuk mengejar
dan menumpas gerilyawan Aceh. Dengan pasukan marchose Belanda berhasil mematahkan serangan gerilya rakyat Aceh. Tahun 1899, Teuku Umar gugur dalam pertempuran di Meulaboh. Pasukan Cut Nyak Dien yang menyingkir ke hutan dan mengadakan perlawanan juga dapat dilumpuhkan.

Dari beberapa perlawanan yang dilakukan oleh rakyat di berbagai daerah pada awalnya mengalami kemenangan tetapi pada akhirnya mengalami kekalahan. Hal itu disebabkan karena beberapa hal antara lain :
1. Rakyat tidak bersatu, tetapi berjuang secara kedaerahan.
2. Rakyat mudah diadu domba, ingat politik devide et impera (politik adu domba).
3. Kurangnya persenjataan.

Satuhal yang patut ingat dan diteladani adalah :
1. Semua para pahlawan berjuang dengan rela berkorban dan tanpa pamrih
2. Para pahlawan memiliki jiwa dan semangat hidup gotong royong yang tinggi
3. Perlawanan rakyat menunjukkan bahwa semua rakyat menolak segala bentuk penjajahan


0 komentar:

Perlawanan Rakyat Makasar Terhadap Belanda (VOC


 
        Di Sulawesi Selatan, perlawanan terhadap kolonialisme Belanda dilakukan oleh Kerajaan Gowa dan Tallo, yang kemudian bergabung menjadi Kerajaan Makasar. Dilihat dari letak geografisnya, letak wilayah Kerajaan Makasar sangat strategis dan memiliki kota pelabuhan sebagai pusat perdagangan di Kawasan Indonesia Timur.
Kerajaan Makassar, dengan didukung oleh pelaut-pelaut ulung, mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Hasanudin antara tahun 1654 - 1669. Pada pertengahan abad ke-17, Kerajaan Makasar menjadi pesaing berat bagi kompeni VOC pelayaran dan perdagangan di wilayah Indonesia Timur. Persaingan dagang tersebut terasa semakin berat untuk VOC sehingga VOC berpura-pura ingin membangun hubungan baik dan saling menguntungkan. Upaya VOC yang sepertinya terlihat baik ini disambut baik oleh Raja Gowa dan kemudian VOC diizinkan berdagang secara bebas. Setelah mendapatkan kesempatan berdagang dan mendapatkan pengaruh di Makasar, VOC mulai menunjukkan perilaku dan niat utamanya, yaitu mulai mengajukan tuntutan kepada Sultan Hasanuddin.
Perlawanan Rakyat Makasar Terhadap Belanda (VOC)
Tuntutan VOC terhadap Makasar ditentang oleh Sultan Hasanudin dalam bentuk perlawanan dan penolakan semua bentuk isi tuntutan yang diajukan oleh VOC. Oleh karena itu, kompeni selalu berusaha mencari jalan untuk menghancurkan Makassar sehingga terjadilah beberapa kali pertempuran antara rakyat Makassar melawan VOC.
Pertempuran pertama terjadi pada tahun 1633 dan pertempuran kedua terjadi pada tahun 1654. Kedua pertempuran tersebut diawali dengan perilaku VOC yang berusaha menghalang-halangi pedagang yang masuk maupun keluar Pelabuhan Makasar. Dua kali upaya VOC tersebut mengalami kegagalan karena pelaut Makasar memberikan perlawanan sengit terhadap kompeni. Pertempuran ketiga terjadi tahun 1666 - 1667 dalam bentuk perang besar. Ketika VOC menyerbu Makasar, pasukan kompeni dibantu oleh pasukan Raja Bone (Aru Palaka) dan Pasukan Kapten Yonker dari Ambon. Pasukan angkatan laut VOC, yang dipimpin oleh Speelman, menyerang pelabuhan Makasar dari laut, sedangkan pasukan Aru Palaka mendarat di Bonthain dan berhasil mendorong suku Bugis agar melakukan pemberontakan terhadap Sultan Hasanudin serta melakukan penyerbuan ke Makasar.
Peperangan berlangsung seru dan cukup lama, tetapi pada saat itu Kota Makassar masih dapat dipertahankan oleh Sultan Hasanudin. Pada akhir kesempatan itu, Sultan Hasanudin terdesak dan dipaksa untuk menandatangani perjanjian perdamaian di Desa Bongaya pada tahun 1667.
Perlawanan rakyat Makasar akhirnya mengalami kegagalan. Salah satu faktor penyebab kegagalan rakyat Makasar adalah keberhasilan politik adu domba Belanda terhadap Sultan Hasanudin dengan Aru Palaka. Perlawanan rakyat Makasar selanjutnya dilakukan dalam bentuk lain, seperti membantu Trunojoyo dan rakyat Banten setiap melakukan perlawanan terhadap VOC.

0 komentar:

Perlawanan Rakyat Maluku

           Perlawanan Rakyat  Maluku Portugis berhasil memasuki Kepulauan Maluku pada tahun 1521. Mereka memusatkan aktivitasnya di Ternate. Tidak lama berselang orangorang Spanyol juga memasuki Kepulauan Maluku dengan memusatkan kedudukannya di Tidore. Terjadilah persaingan antara kedua belah pihak. Persaingan itu semakin tajam setelah Portugis berhasil menjalin persekutuan dengan Ternate dan Spanyol bersahabat dengan Tidore. Pada tahun 1529 terjadi perang antara Tidore melawan Portugis. Penyebab perang ini karena kapal-kapal Portugis menembaki jung-jung dari Banda yang akan membeli cengkih ke Tidore. Tentu saja Tidore tidak dapat menerima tindakan armada Portugis. Rakyat Tidore angkat senjata. Terjadilah perang antara Tidore melawan Portugis. Dalam perang ini Portugis mendapat dukungan dari Ternate dan Bacan. Akhirnya Portugis mendapat kemenangan.
sultan nuku
Dengan kemenangan ini Portugis menjadi semakin sombong dan sering berlaku kasar terhadap penduduk Maluku. Upaya monopoli terus dilakukan. Maka, wajar jika sering terjadi letupan-letupan perlawanan rakyat. Sementara itu untuk menyelesaikan persaingan antara Portugis dan Spanyol dilaksanakan perjanjian damai, yakni Perjanjian Saragosa pada tahun 1534. Dengan adanya Perjanjian Saragosa kedudukan Portugis di Maluku semakin kuat. Portugis semakin berkuasa untuk memaksakan kehendaknya melakukan monopoli perdagangan rempah-rempah di Maluku. Kedudukan Portugis juga semakin mengganggu kedaulatan kerajaan-kerajaan yang ada di Maluku. Pada tahun 1565 muncul perlawanan rakyat Ternate di bawah pimpinan Sultan Khaerun/Hairun. Sultan Khaerun menyerukan seluruh rakyat dari Irian/Papua sampai Jawa untuk angkat senjata melawan kezaliman kolonial Portugis. Portugis mulai kewalahan dan menawarkan perundingan kepada Sultan Khaerun. Dengan pertimbangan kemanusiaan, Sultan Khaerun menerima ajakan Portugis Perundingan dilaksanakan pada tahun 1570 bertempat di Benteng Sao Paolo. Ternyata semua ini hanyalah tipu muslihat Portugis. Pada saat perundingan sedang berlangsung, Sultan Khaerun ditangkap dan dibunuh. Apa yang dilakukan Portugis kala itu sungguh kejam dan tidak mengenal perikemanusiaan. Demi keuntungan ekonomi Portugis telah merusak sendi-sendi kehidupan kemanusiaan dan keberagamaan.
Setelah Sultan Khaerun dibunuh, perlawanan dilanjutkan di bawah pimpinan Sultan Baabullah (putera Sultan Khaerun). Melihat tindakan Portugis yang tidak mengenal nilai-nilai kemanusiaan, semangat rakyat Maluku untuk melawannya semakin berkobar. Seluruh rakyat Maluku berhasil dipersatukan termasuk Ternate dan Tidore untuk melancarkan serangan besar-besaran terhadap Portugis. Akhirnya Portugis dapat didesak dan pada tahun 1575 berhasil diusir dari Ternate. Orang-orang Portugis kemudian melarikan diri dan menetap di Ambon sampai tahun 1605. Tahun itu Portugis dapat diusir oleh VOC dari Ambon dan kemudian menetap di Timor Timur.
Serangkaian rakyat terus terjadi terhadap Portugis maupun VOC yang melakukan tindakan kejam dan sewenang-wenang kepada rakyat. Misalnya pada periode tahun 1635-1646 terjadi serangan sporadis dari rakyat Hitu yang dipimpin oleh Kakiali dan Telukabesi. Perlawanan rakyat ini juga meluas ke Ambon. Tahun 1650 perlawanan rakyat juga terjadi di Ternate yang dipimpin oleh Kecili Said. Sementara perlawanan secara gerilya terjadi seperti di Jailolo. Namun berbagai serangan itu selalu dapat dipatahkan oleh kekuatan VOC yang memiliki peralatan senjata lebih lengkap. Rakyat terus mengalami penderitaan akibat kebijakan monopoli rempah-rempah yang disertai dengan Pelayaran Hongi.
Pada tahun 1680, VOC memaksakan sebuah perjanjian baru dengan penguasa Tidore. Kerajaan Tidore yang semula sebagai sekutu turun statusnya menjadi vassal VOC, dan sebagai penguasa yang baru diangkatlah Putra Alam sebagai Sultan Tidore (menurut tradisi kerajaan Tidore yang berhak sebagai sultan semestinya adalah Pangeran Nuku). Penempatan Tidore sebagai vassal atau daerah kekuasaan VOC telah menimbulkan protes keras dari Pangeran Nuku. Akhirnya Nuku memimpin perlawanan rakyat. Timbullah perang hebat antara rakyat Maluku di bawah pimpinan Pangeran Nuku melawan kekuatan kompeni Belanda (tentara VOC). Sultan Nuku mendapat dukungan rakyat Papua di bawah pimpinan Raja Ampat dan juga orang-orang Gamrange dari Halmahera. Oleh para pengikutnya, Pangeran Nuku diangkat sebagai sultan dengan gelar Tuan Sultan Amir Muhammad Syafiudin Syah. Sultan Nuku juga berhasil meyakinkan Sultan Aharal dan Pangeran Ibrahim dari Ternate untuk bersama-sama melawan VOC. Bahkan dalam perlawanan ini Inggris juga member dukungan terhadap Sultan Nuku. Belanda kewalahan dan tidak mampu membendung ambisi Nuku untuk lepas dari dominasi Belanda. Sultan Nuku berhasil mengembangkan pemerintahan yang berdaulat melepaskan diri dari dominasi Belanda di Tidore sampai akhir hayatnya (tahun 1805).[cm]

0 komentar:

Puputan Margarana, pertempuran sampai mati Kolonel Ngurah Rai

   Puputan Margarana, pertempuran sampai mati Kolonel Ngurah Rai
   Kisah Kolonel I Gusti Ngurah Rai sudah banyak ditulis dalam buku-buku sejarah di negeri ini. Pahlawan kemerdekaan itu tewas dalam perang sampai mati yang dikenal sebagai perang Puputan Margarana pada 1946. Bersama prajuritnya, Gusti Ngurah Rai memilih melawan Belanda habis-habisan sampai mati daripada menyerah.

Peristiwa ini terjadi pada 20 November 1946 di Banjar Kelaci, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali. Salah satu kisah heroik I Gusti Ngurah Rai ini ditulis dalam buku "Jejak-jejak Pahlawan" yang ditulis Sudarmanto.

Dalam buku itu diceritakan setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, Kolonel Gusti Ngurah Rai menerima tugas membentuk TKR (Tentara Keamanan Rakyat) di daerahnya untuk menghadang agresi Belanda yang ingin kembali menguasai Bali setelah Jepang hengkang karena kalah dalam Perang Dunia II.

Ngurah Rai kemudian membentuk pasukan Sunda Kecil bernama Ciung Wanara. Ketika membentuk pasukan itu, dia kemudian berkonsultasi dengan Markas Besar TKR di Yogyakarta sebagai pusat pemerintahan waktu itu. Namun kembali dari Yogya, ternyata Belanda sudah mendarat di Bali. Di sisi lain pasukan Ciung Wanara yang dibentuk Ngurah Rai telah tercerai berai menjadi pasukan-pasukan kecil. Lalu usaha pertamanya adalah mengumpulkan pasukannya itu.

Belanda awalnya mengajak Ngurah Rai bekerja sama dalam upaya pendudukan tersebut. Hal itu nampak dalam surat Kapten J.M.T Kunie kepada Ngurah Rai yang intinya mengajak berunding. Namun bukannya diterima, ajakan kerja sama itu justru ditolak oleh Ngurah Rai.
"Soal perundingan kami serahkan kepada kebijaksanaan pemimpin-pemimpin kita di Jawa. Bali bukan tempatnya perundingan diplomasi. Dan saya bukan kompromis. Saya atas nama rakyat hanya mengingini lenyapnya Belanda dari Pulau Bali atau kami sanggup bertempur terus sampai cita-cita kita tercapai."

Singkat cerita, mendapat penolakan itu Belanda menambah bala bantuan pasukan dari Lombok, tujuannya untuk menyergap pasukan Ngurah Rai di Tabanan. Sang kolonel yang mengetahui pergerakan Belanda itu langsung memindahkan pasukannya ke Desa Marga. Mereka menyusuri wilayah ujung timur Pulau Bali, termasuk melintasi Gunung Agung.

Namun upaya itu diendus oleh pasukan Belanda dan akhirnya mengejar mereka. Pada 20 November 1946, di Desa Marga pasukan Ngurah Rai dan pasukan Belanda bertemu hingga akhirnya terjadilah pertempuran sengit. Dalam pertempuran itu pasukan Ciung Wanara berhasil memukul mundur pasukan Belanda.

Namun pertempuran tidak berhenti sebab bala bantuan pasukan Belanda datang dengan jumlah besar, dilengkapi persenjataan lebih modern serta didukung kekuatan pesawat tempur. Kondisi pun berbalik, pasukan Ngurah Rai malah terdesak karena kekuatan tidak seimbang itu.
Ketika hari beranjak malam, pertempuran itu antara pasukan Ngurah Rai dan Belanda tidak juga berhenti. Pasukan Belanda juga kian brutal dengan menggempur pasukan Ciung Wanara dengan meriam dan bom dari pesawat tempur.

Hingga akhirnya pasukan Ciung Wanara terdesak ke wilayah terbuka di area persawahan dan ladang jagung di kawasan Kelaci, Desa Marga. Dalam kondisi terdesak itu Ngurah Rai mengeluarkan perintah Puputan atau pertempuran habis-habisan. Dalam pandangan pejuang Bali itu, lebih baik berjuang sebagai kesatria daripada jatuh ke tangan musuh.

Akhirnya malam itu, 20 November 1946 Gusti Ngurah Rai gugur bersama pasukannya. Peristiwa inilah yang kemudian dicatat sebagai peristiwa Puputan Margarana. Puputan Margarana adalah sejarah penting tonggak perjuangan rakyat Indonesia.

Kekalahan pasukan Ngurah Rai juga melicinkan usaha bagi Belanda untuk membentuk Negara Indonesia Timur (NIT). Namun usaha itu kembali gagal setelah Indonesia kembali menjadi negara kesatuan pada 1950.

0 komentar:

Pertempuran di Banten pada Masa Revolusi

Pertempuran di Banten pada Masa Revolusi


PANDEGLANG (22/04), Setelah pertempuran melawan Kempetai di Serang pada awal bulan Oktober 1945 yang berakhir dengan kaburnya tentara Jepang dari daerah itu, bangsa asing lain yang segera dihadapi Banten adalah tentara Inggris dan Belanda. Perlu dikemukakan disini bahwa tentara Sekutu yang diwakili oleh Tentara Inggris, yang akan melucuti tentara Jepang, mendarat di Jakarta pada akhir bulan September 1945. Mereka diboncengi tentara NICA yang akan menerima kembali Indonesia dari tangan Inggris.
Mengenai adanya kejadian-kejadian yang melanggar perikemanusiaan di daerah-daerah yang didatangi Inggris seperti Jakarta, Bandung, Semarang dan Surabaya, rakyat Banten menyatakan sikap politiknya. Mereka dengan semangat yang tinggi bersedia pergi keluar daerahnya untuk membantu sesama bangsa melawan pengganggu Kemerdekaan Indonesia. Mereka menyatakan tidak dapat menerima kedatangan tentara Inggris di Banten. Sehubungan dengan itu mereka tidak menjamin keselamatannya. Sampai akhir bulan Oktober 1945 Belanda belum ada yang datang di daerah Banten. Pernah ada usaha dari Belanda untuk mendaratkan pasukannya melalui laut di Pantai Utara Banten, namun dapat digagalkan oleh TKR.
Karena semangat yang tinggi untuk memerangi Belanda, mengingat bahwa bangsa asing itu belum juga masuk ke daerah Banten, maka rakyat Banten yang tergabung dalam barisan-barisan rakyat melurug keluar daerahnya untuk mengusir Belanda yang ada di daerah Tangerang dan Bogor. Sebagai contoh, pada tanggal 22 Oktober 1945 Barisan Rakyat dari Warunggunung Kabupaten Lebak, sekitar 160 orang dengan senjata senapan dan golok menyerang Pondoklitung, suatu tempat di dekat Kebayoran yang menjadi sarang tentara NICA. Malam harinya pertempuran dihentikan dan esok harinya pertempuran dimulai lagi. Barisan rakyat yang begitu berani itu menyerang sampai lima meter dimuka tangsi NICA di Kebayoran. Akan tetapi, karena gencarnya tembakan senjata mesin dari Tangsi NICA, pasukan rakyat mundur. Empat hari kemudian, serangan dilakukan lagi secara besar-besaran yang mendapat bantuan rakyat dari daerah Tangerang, Bogor dan Banten. Tangsi NICA di Kebayoran ditinggalkan oleh tentaranya, namun sekitar 200 orang tentara NICA masih ada di dekat Kewedanaan Kebayoran. Pasukan Rakyat Banten bertekad untuk menghancurkan mereka. Setelah kejadian itu, agen-agen NICA yang masuk kedaerah Banten, yang antara lain bermaksud membeli beras untuk keperluan NICA, diperiksa dengan sangat teliti.
Dalam tahun 1946, sepanjang daerah perbatasan teritorial Brigade Tirtayasa dengan daerah kekuasaan Belanda, dari pantai utara hingga pantai selatan, dibagi menjadi lima sektor pertahanan. Garis demarkasi antara Banten dengan daerah di sebelah timurnya di adalah Sungai Cisadane keselatan sampai di Gobang, terus selatan sampai di K rekel, kemudian terus menyusuri sungai Cianten Leuwiliang. Kelima Sektor itu dari utara ke Selatan adalah sebagai berikut :
  • SEKTOR I, Merak dipimpin oleh Mayor Ali Amangku. Sektor ini terdiri dari Polisi Tentara Batalyon XI dengan dislokasi pasukan sekitar Merak, Jati, Sepatan, Pakuaji dan sepanjang sungai Cimone.
  • SEKTOR II, Balaraja dipimpin oleh Komandan Batalyon I yang terdiri dari pasukan Resimen I. Dislokasi pasukan di Balaraja, Jatake dan Cikupa.
  • SEKTOR III, Parungpanjang terdiri dari Pasukan Batalyon II Resimen II yang dipimpin oleh Kapten Soleman dengan dislokasi pasukan adalah Karawaci, Kelapadua, Cijantra, Curug, Malangnengah, Parungpanjang, Legok, Cihuni dan Lengkong.
  • SEKTOR IV, Leuwiliang dipimpin oleh Mayor Dudung Padmadikarta yang terdiri dari Pasukan Batalyon I Resimen II dengan dislokasi pasukan adalah di Lebakwangi, Cicangkul, Leuwiliang dan Cikotok.
  • SEKTOR V, Cikotok dipimpin oleh Kapten M.Soepta Widjaya yang terdiri dari Pasukan Kompi IV, Batalyon I Resimen II dengan dislokasi pasukan di Rabig dan Cibareno.
Pada tahun 1946 banyak terjadi pertempuran antara Pasukan Banten melawan Pasukan Belanda didaerah garis demarkasi yang memakan banyak korban di kedua belah pihak. Masing-masing pihak mempunyai kelebihan. Tentara Belanda unggul dalam persenjataan, sedangkan tentara Banten unggul dalam jumlah personel dan semangat. Dari sekian banyak pertempuran yang paling banyak memakan korban di pihak pasukan Belanda adalah pertempuran di Serpong.
Pertempuran di Serpong pada akhir bulan Mei 1946 terjadi karena serangan laskar-laskar dari Banten terhadap tentara Belanda. Serangan itu terjadi karena Banten merasa terancam dengan didudukinya Serpong oleh Belanda. Beberapa hari setelah Serpong diduduki oleh Belanda, tanggal 23 Mei 1946 pasukan laskar dari Desa Sampeureun, Kecamatan Maja, suatu tempat yang dekat dengan garis demarkasi, berjalan menuju Serpong. Pasukan berkekuatan 400 orang dibawah pimpinan KH.Ibrahim. Sesampai di Tenjo pasukan bergabung dengan pasukan laskar dari Tenjo yang dipimpin oleh KH. Harun, seorang ulama yang terkenal sebagai Abuya Tenjo. Laskar Tenjo berjumlah sekitar 300 orang.
Pada tanggal 25 Mei 1946 kedua pasukan tersebut dengan menggunakan senjata tajam terus berjalan kaki menuju Parungpanjang, suatu tempat disebelah barat Serpong. Disepanjang perjalanan menuju sasaran pasukan bertambah terus di antaranya dari Pasukan dari Kampung Sengkol pimpinan Jaro Tiking, pasukan dari Rangkasbitung pimpinan Mama Hasyim dan Pasukan Laskar pimpinan Nafsirin Hadi dan E.Mohammad Mansyur.
Pada tanggal 25 Mei 1946 malam, para pimpinan pasukan berunnding untuk mengatur siasat pertempuran. Esok harinya, tanggal 26 Mei 1946 Serpong di serang. Pasukan Pimpinan KH.Harun menyerang dari belakang sedangkan Pasukan Pimpinan KH.Ibrahim, pasukan pimpinan Mama Hasyim dan pasukan pimpinan E.Mohammad Masyur menyerang dari depan dengan melalui jalan raya Serpong. Dalam gerakan menuju sasaran pasukan mengumandangkan takbir “Allahhu Akbar”. Suara takbir itu membuat pasukan Belanda waspada dan siap mengambil posisi ditempat-tempat yang strategis. Pasukan laskar Banten maju terus dengan mengumandakan takbir dan Pasukan Belanda gencar menembaknya sehingga korban berjatuhan. Suara Takbir lambat laun melemah dan akhirnya tidak terdengar lagi dan pasukan Banten sekitar 200 orang gugur, termasuk KH.Ibrahim dan Jaro Tiking.
Untuk mengurus dan memakamkan jenazah para korban, Nafsirin Hadi berhasil menemui Pimpinan tentara Belanda, seorang Letnan KNIL. Permintaannya dikabulkan dengan mengatakan : “Saya diharuskan memberikan Tuan izin untuk menguburkan jenazah-jenazah itu, tetapi hanya oleh empat orang dari Pasukan Tuan. Dan pukul 06.00 sore, Tuan harus sudah meninggalkan tempat ini. Atas persetujuan pimpinan tentara Belanda para korban itu pada tanggal 27 Mei 21946 siang dikubur secara masal dalam tiga lubang besar. Namun tempat pemakaman itu kemudian diberi nama “MAKAM PAHLAWAN SERIBU” yang terletak di Kampung Pariang, Serpong.
Beberapa hari setelah pertempuran di Serpong, pada tanggal 30 Mei 1946, pertahanan TRI di Jatiuwung diserang tentara Belanda yang berkekuatan satu kompi kavaleri dan satu regu artileri. Pertempuran tidak dapat dihindarkan. Karena kalah dalam persenjataan, pertahanan TRI di Jatiuwungbobol dan TRI mundur ke Cikupa. Setengah Bulan kemudian, tanggal 16 Mei 1946, pertahanan TRI di Tangerang diserang tentara Belanda. Pertahanan TRI di Curug bobol dan tentara Belanda langsung menduduki Balaraja, namun hanya selama tiga hari karena tentara Belanda harus kembali ke Tangerang sehubungan dengan adanya gencatan senjata dalam rangka Perjanjian Linggarjati,
Selesai re-organisasi, pembagian daerah pertahanan diubah dari lima menjadi Empat Sektor.
  • SEKTOR I, Merak dihapus dan daerahnya dimasukan kedalam SEKTOR II. Keduanya menjadi SEKTOR I, Balaraja yang dipimpin oleh Kapten RE.Djaelani.
  • SEKTOR III, Parungpanjang diubah menjadi SEKTOR II dan dipimpin oleh Kapten R.Sachra Sastrakoesoemah.
  • SEKTOR IV, Jasinga – Leuwiliang diubah menjadi SEKTOR III dan dipimpin oleh Kapten Soleman.
  • SEKTOR V, Cikotok diubah menjadi SEKTOR IV dan dipimpin oleh M.Soeparta Widjaja.
Pada tanggal 21 Juli 1947 Belanda melakukan agresi militer pertama. Daerah RI diserang dari tiga jurusan, yaitu darat, laut dan udara. Untuk keamanan Jakarta, Panglima Perang Belanda, Jenderal Spoor memerintahkan pasukan ketiga resimennya yaitu Resimen Jagore, Resimen Grenadiers dan Resimen Hazaron van Boreel untuk mendesak Pasukan TNI mundur ke Barat sekitar 14 sampai 20 km dari garis status quo van mook. Untuk keamanan Jakarta, Belanda melebarkan daerah kekuasaannya ke Barat dan menguasai Kracak, suatu tempay disebelah barat Bogor yang menjadi pusat tenaga listrik yang menerangi kota Jakarta.
Untuk memecah kekuatan TNI, tanggal 20 Juli 1947 siang, Lapangan Udara Gorda, Serang dibom pesawat pembom Belanda. Malam harinya, perairan Pelabuhan Merak dimasuki dua buah Kapal Perang Belanda yang menembaki gedung pelabuhan. ALRI Banten membalas, dua kapal perang itu menyinkir, namun pada waktu-waktu berikutnya sering mondar mandir di Laut Jawa dan Selat Sunda. Pada tanggal 20 Agustus 1947 tengah malam, sebuah kapal Belanda berlabuh di Pulau Liwungan di Teluk Lada dan menurunkan sekoci yang berisi beberapa tentara Belanda yang kemudian menuju Labuan. Tentara Belanda ini menembak ke arah Labuan dan kemudian berlabuh di dekatnya (Antara, 23 Agustus 1947).
Menanggapi serangan-serangan mendadak Belanda itu, Komandan Tempur Brigade Tirtayasa memerintahkan Komandan Sektor I Kapten R.E. Djaelani untuk menyerang Tangerang pada malam harinya. Komandan Sektor I mengerahkan enam kompi pasukan tempurnya untuk menyerang dari tiga jurusan. Sayap kiri berada di sebelah utara, di Merak. Sayap Tengah berada di jalan Balaraja – Tangerang dan Sayap Kanan berada di sebelah Selatan. Serangan dimulai waktu fajar itu dipimpin oleh Komandan Sektor I. Sepanjang hari tanggal 21 Juli 1947 terjadi pertempuran di sekitar Sepatan, Cimone dan Karawaci. Belanda mengerahkan pasukan Infanteri dan pasukan lapis bajanya yang dilindungi dari udara. Menjelang matahari terbenam, komandan pertempuran menarik mundur pasukannya kembali ke tempat semula, lalu diadakan konsolidasi pasukan dan penetapan posisi baru. Sementara itu, pasukan Belanda memusatkan serangannya ke Kelapadua Curug dan Bitung, Belanda akhirnya dapat menduduki Jatake. Ditempat inilah kemudian ditempatkan oleh Belanda satu kompi pasukannya.
Sementara itu, pada tanggal 21 Juli 1947, pukul 00.00 tentara Belanda dari Batalyon III Resimen Jager merebut Pusat Tenaga Listrik di Kracak. Mulai pukul 03.00 sampai pagi hari terjadi pertempuran di Leuwiliang yang berakhir dengan didudukinya kota itu. Pasukan TNI mundur ke barat dan selatan. Pasukan TNI dari Batalyon IX Brigade Suryakencana mundur ke selatan, ke Kracak yang dikejar terus oleh tentara Belanda. Kracak akhirnya dapat diduduki oleh Belanda. Kemudian di sana ditempatkan pasukan Belanda yang cukup kuat untuk melindungi Pusat Tenaga Listrik.
Setelah pertempuran-pertempuran tersebut, didaerah perbatasan antara Banten dan Bogor dan antara Banten dan Tangerang selalu terjadi pertempuran antara pasukan TNI melawan pasukan Belanda. Pertempuran itu terjadi antara lain karena serangan-serangan tentara Belanda terhadap pasukan TNI. Pertempuran yang paling sering terjadi ada didaerah sebelah selatan Tangerang, seperti dikampung Pabuaran, Parungpanjang dan disebelah barat daya Tangerang, seperti Cikupa yang memakan banyak korban. 

0 komentar:

PERTEMPURAN BANDUNG LAUTAN API

PERTEMPURAN BANDUNG LAUTAN API

PERTEMPURAN BANDUNG LAUTAN API (1)

File:Lambang Kota Bandung.svg
     
A. Latar Belakang Pertempuran Bandung Lautan Api

Pasukan Sekutu Inggris memasuki kota Bandung sejak pertengahan oktober 1945. Menjelang november 1945, pasukan NICA semakin merajelela di Bandung dengan aksi terornya. Masuknya tentara sektu dimanfaatkan oleh NICA untuk mengembalikan kekuasaanya di Indonesia. Tapi semangat juang rakyat dan para pemuda Bandung tetap berkobar. 
Latar belakang Bandung Lautan Api, antara lain :


1) Pasukan sekutu Inggris memasuki kota Bandung dan sikap pasukan NICA yang merajalela dengan aksi terornya.
2) Perundingan antara pihak RI dengan Sekutu/NICA, dimana Bandung dibagi dua bagian.
3) Bendungan sungai Cikapundung yang jebol dan menyebabkan banjir besar dalam kota
4) Keinginan sektu yang menuntut pengosongan sejauh 11km dari Bandung Utara.
B. Proses Terjadinya Pertempuran Bandung Lautan Api
Suatu peristiwa di bulan Maret 1946, dalam waktu tujuh jam, sekitar 200.000 penduduk mengukir sejarah dengan membakar rumah dan harta benda mereka, meninggalkan kota Bandung menuju pegunungan di selatan. Peristiwa itu di kenal sebagai Bandung Lautan Api. Sebuah memorabilia sejarah Bandung.

Pada awal tahun 1946, Inggris menjanjikan penarikan pasukannya dari Jawa Barat dan menyerahkan kepada Belanda, untuk selanjutnya digunakan sebagai basis militer. Kesepakatan sekutu, Inggris dan NICA (Nederlands Indie Civil Administration) memunculkan perlawanan heroic dari masyarakat dan pemuda pejuang di Bandung, ketika tentara Inggris dan NICA melakukan serangan militer ke Bandung. Tentara sekutu berusaha untuk menguasai Bandung, meskipun harus melanggar hasil perundingan dengan RI.Agresi militer Inggris dan NICA Belanda  pun memicu tindakan pembumihangusan kota oleh para pejuang dan masyarakat Bandung. 
Bumi hangus adalah memusnahkan dengan pembakaran semua barang, bangunan, gedung yang mungkin akan dipakai oleh musuh.
Sekutu dan NICA Belanda, yang menguasai wilayah Bandung Utara (wilayah di utara jalan kereta api yang membelah kota Bandung dari timur ke barat), memberikan ultimatum (23 Maret 1946) supaya Tentara Republik Indonesia (TRI) mundur sejauh 11 km dari pusat kota (wilayah di selatan jalan kereta api dikuasai TRI) paling lambat pada tengah malam tanggal 24 Maret 1946. Akibatnya pertempuran pun kembali menghebat. Pada saat itu datang dua buah surat perintah yang isinya membingungkan, yaitu :                                                                   
 1)      Dari perdana Menteri Amir Syarifudin                                                                                                  Bahwa para pejuang / pasukan RI harus mundur  dari kota Bandung sesuai dengan perjanjian antara pemerintah RI dengan Sekutu yanag saat itu sedang berlangsung di Jakarta.
       2)      Dari Panglima TKR (Jenderal Sudirman)
Bahwa para pejuang/pasukan RI harus mempertahankan Kota bandung sampai titik darah penghabisan.
Menghadapi dua perintah yang berbeda ini, akhirnya pada 24 Maret 1946 pukul 10.00 WIB, para petinggi TRI mengadakan rapat untuk menyikapi perintah PM Sjahril di Markas Divisi III TKR. Rapat ini dihadiri para pemimpin pasukan Komandan Divisi III Kolonel Nasution, Komandan Resimen 8 Letkol Omon Abdurrahman, Komandan Batalyon I Mayor Abdurrahman, Komandan Batalyon II Mayor Sumarsono, Komandan Batalyon III Mayor Ahmad Wiranatakusumah, Ketua MP3 Letkol Soetoko, Komandan Polisi Tentara Rukana, dan perwakilan tokoh masyarakat dan pejuang Bandung.

Dalam menyikapi ultimatum Inggris, sikap para pejuang terbelah. Ada yang menginginkan bertahan di Bandung sambil melakukan perlawanan hingga titik darah penghabisan, ada juga yang memilih meninggalkan Bandung sambil mengatur strategi gerilya ketika berada di luar Bandung. Meski begitu, tujuan mereka sama yakni menolak keras upaya penjajahan kembali oleh Belanda.

Rapat pun berlangsung alot dan panas. Berbagai usulan perlawanan disampaikan peserta rapat, salah satu usul adalah meledakkan terowongan Sungai Citarum di Rajamandala sehingga airnya merendam Bandung. Usul ini disampaikan Rukana. Namun saking emosinya, Rukana menyebut usulnya agar Bandung menjadi “lautan api”, padahal maksudnya “lautan air”. Diduga, dari rapat inilah muncul istilah Bandung Lautan Api.

Usul lain muncul dari tokoh Angkatan Muda Pos Telegrap dan Telepon (AMPTT),  Soetoko,  yang tidak setuju jika hanya TRI saja yang meninggalkan Bandung. Menurutnya, rakyat harus bersama TKR mengosongkan kota Bandung.
Sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam militer di Bandung, Nasution akhirnya memutuskan untuk mentaati keputusan pemerintah RI. Keputusan ini berisi beberapa poin, di antaranya TRI akan mundur sambil melakukan melakukan infiltrasi atau bumi hangus, hingga Bandung diserahkan dalam keadaan tidak utuh.

Lalu rakyat akan diajak mengungsi bersama TRI. Selama pengungsian, TRI dan pejuang akan melakukan perlawanan dengan taktik gerilya ke Bandung Utara dan Selatan yang dikuasai musuh.

Melalui siaran RRI pada pukul 14.00, Nasution mengumumkan:  bahwa semua pegawai dan rakyat harus keluar sebelum pukul 24.00, tentara melakukan bumi hangus terhadap objek vital di Bandung agar tidak dipakai Inggris dan NICA.

Saat malam tiba, TRI akan menyerang Bandung. TRI juga mempersiapkan sejumlah titik pengungsian bagi Keresidenan Priangan, Walikota Bandung, Bupati Bandung, Jawatan KA, Jawatan PTT, rumah sakit, dan lain-lain.

Rakyat sebagian ada yang menerima informasi tersebut, sebagian lagi hanya mendengar desas-desus bahwa Bandung akan dibakar dan penduduknya harus ngungsi segera menyebar, tetapi banyak juga yang tidak mengetahui sama sekali. Namun situasi umum waktu itu mencekam, kepanikan di mana-mana.
Meski panik, secara umum rakyat mematuhi keputusan pemerintah. Banyak rakyat yang mengungsi, Meski berat hati harus meninggalkan rumah yang sudah mereka ditinggali sejak kecil. Tempat tujuan pengungsi menyebar, mulai dari Cililin, Ciparay dan Majalaya, Tasikmalaya, Cianjur, Ciwidey, Garut, Sukabumi, bahkan adaya yang mengikuti hingga Jogjakarta.
TRI menjadwalkan peledakan pertama dimulai pukul 24.00 WIB di Gedung Regentsweg, selatan Alun-alun Bandung yaitu Gedung Indische Restaurant (sekarang Gedung BRI), sebagai aba-aba untuk meledakan semua gedung.

Di tengah persiapan itu tiba-tiba terjadi ledakkan. Seorang pejuang, Endang Karmas, mengaku heran dengan adanya ledakan, padahal baru pukul 20.00 WIB. Ledakkan pertama itu terlanjut dianggap aba-aba, sehingga pejuang lain pun tergesa-gesa melakukan pembakaran dan peledakkan gedung.

Karena persiapan yang minim, banyak gedung vital yang tidak bisa diledakkan, kalaupun meledak, tidak sanggup merusak bangunan yang terlalu kokoh.

Beberapa kemungkinan menjadi pemicu melesetnya jadwal ledakkan dari jadwal semula,  yakni faktor teknis atau keterampilan menguasi bahan peledak yang minim, alat peledak yang kurang, atau ada sabotase oleh musuh untuk menggagalkan sekenario Bandung Lautan Api.

Terlebih saat persiapan pengungsian pasukan Gurkha dan NICA terus melakukan provokasi hingga penembakan terhadap para pejuang. Hal itulah yang membuat rencana pembakaran dan penghancuran objek vital tidak berjalan seperti rencana.

Kebakaran hebat justru timbul dari rumah-rumah warga yang sengaja dibakar, baik oleh pejuang maupun oleh pemilik rumah yang sukarela membakar rumahnya sebelum berangkat ngungsi. Rumah-rumah warga yang dibakar membentang dari Jalan Buah Batu, Cicadas, Cimindi, Cibadak, Pagarsih, Cigereleng, Jalan Sudirman, Jalan Kopo. Kobaran api terbesar ada di daerah Cicadas dan Tegalega, di sekitar Ciroyom, Jalan Pangeran Sumedang (Oto Iskandar Dinata), Cikudapateuh, dan lain-lain.
Semua listrik mati. Inggris mulai menyerang sehingga pertempuran sengit terjadi. Pertempuran yang paling seru terjadi di Desa Dayeuhkolot, sebelah selatan Bandung, di mana terdapat pabrik mesiu yang besar milik Sekutu. TRI bermaksud menghancurkan gudang mesiu tersebut. Untuk itu diutuslah Muhammad Toha dan Ramdan. Kedua pemuda itu berhasil meledakkan gudang tersebut dengan granat tangan. Gudang besar itu meledak dan terbakar, tetapi kedua pemuda itu pun ikut gugur sebagai pahlawan bangsa.
Sejarah heroic itu tercatat dalam sejarah bangsa Indonesia sebagai peristiwa Bandung Lautan Api (BLA). Lagu Halo-halo Bandung ciptaan Ismail Marzuki menjadi lagi perjuangan pada saat itu. NICA Belanda berhasil menguasai Jawa Barat melalui Perjanjian Renville (17 Januari 1948).
Beberapa tahun kemudian, lagu "Halo-Halo Bandung" ditulis untuk melambangkan emosi mereka, seiring janji akan kembali ke kota tercinta, yang telah menjadi lautan api. Perlambang emosi mereka, seiring janji akan kembali ke kota tercinta, yang telah menjadi lautan api.
Kesimpulan :
Terjadinya peristiwa bandung lautan api diawali dari datangnya sekutu pada bulan Oktober 1945. Peristiwa ini dilatar belakangi oleh ultimatum sekutu untuk mengosongkan kota bandung pada tanggal 21 november 1945. Sekutu mengeluarkan ultimatum pertama isinya kota bandung bagian utara selambat-lambatnya tanggal 29 november 1945 dikosongkan oleh para pejuang. Ultimatum tersebut tidak dianggap, selanjutnya tanggal 23 maret 1946 sekutu mengeluarkan ultimatum kembali yang isinya hampir sama dengan ultimatum pertama.

0 komentar: