Blue Fire Pointer

Pertempuran di Banten pada Masa Revolusi

Pertempuran di Banten pada Masa Revolusi


PANDEGLANG (22/04), Setelah pertempuran melawan Kempetai di Serang pada awal bulan Oktober 1945 yang berakhir dengan kaburnya tentara Jepang dari daerah itu, bangsa asing lain yang segera dihadapi Banten adalah tentara Inggris dan Belanda. Perlu dikemukakan disini bahwa tentara Sekutu yang diwakili oleh Tentara Inggris, yang akan melucuti tentara Jepang, mendarat di Jakarta pada akhir bulan September 1945. Mereka diboncengi tentara NICA yang akan menerima kembali Indonesia dari tangan Inggris.
Mengenai adanya kejadian-kejadian yang melanggar perikemanusiaan di daerah-daerah yang didatangi Inggris seperti Jakarta, Bandung, Semarang dan Surabaya, rakyat Banten menyatakan sikap politiknya. Mereka dengan semangat yang tinggi bersedia pergi keluar daerahnya untuk membantu sesama bangsa melawan pengganggu Kemerdekaan Indonesia. Mereka menyatakan tidak dapat menerima kedatangan tentara Inggris di Banten. Sehubungan dengan itu mereka tidak menjamin keselamatannya. Sampai akhir bulan Oktober 1945 Belanda belum ada yang datang di daerah Banten. Pernah ada usaha dari Belanda untuk mendaratkan pasukannya melalui laut di Pantai Utara Banten, namun dapat digagalkan oleh TKR.
Karena semangat yang tinggi untuk memerangi Belanda, mengingat bahwa bangsa asing itu belum juga masuk ke daerah Banten, maka rakyat Banten yang tergabung dalam barisan-barisan rakyat melurug keluar daerahnya untuk mengusir Belanda yang ada di daerah Tangerang dan Bogor. Sebagai contoh, pada tanggal 22 Oktober 1945 Barisan Rakyat dari Warunggunung Kabupaten Lebak, sekitar 160 orang dengan senjata senapan dan golok menyerang Pondoklitung, suatu tempat di dekat Kebayoran yang menjadi sarang tentara NICA. Malam harinya pertempuran dihentikan dan esok harinya pertempuran dimulai lagi. Barisan rakyat yang begitu berani itu menyerang sampai lima meter dimuka tangsi NICA di Kebayoran. Akan tetapi, karena gencarnya tembakan senjata mesin dari Tangsi NICA, pasukan rakyat mundur. Empat hari kemudian, serangan dilakukan lagi secara besar-besaran yang mendapat bantuan rakyat dari daerah Tangerang, Bogor dan Banten. Tangsi NICA di Kebayoran ditinggalkan oleh tentaranya, namun sekitar 200 orang tentara NICA masih ada di dekat Kewedanaan Kebayoran. Pasukan Rakyat Banten bertekad untuk menghancurkan mereka. Setelah kejadian itu, agen-agen NICA yang masuk kedaerah Banten, yang antara lain bermaksud membeli beras untuk keperluan NICA, diperiksa dengan sangat teliti.
Dalam tahun 1946, sepanjang daerah perbatasan teritorial Brigade Tirtayasa dengan daerah kekuasaan Belanda, dari pantai utara hingga pantai selatan, dibagi menjadi lima sektor pertahanan. Garis demarkasi antara Banten dengan daerah di sebelah timurnya di adalah Sungai Cisadane keselatan sampai di Gobang, terus selatan sampai di K rekel, kemudian terus menyusuri sungai Cianten Leuwiliang. Kelima Sektor itu dari utara ke Selatan adalah sebagai berikut :
  • SEKTOR I, Merak dipimpin oleh Mayor Ali Amangku. Sektor ini terdiri dari Polisi Tentara Batalyon XI dengan dislokasi pasukan sekitar Merak, Jati, Sepatan, Pakuaji dan sepanjang sungai Cimone.
  • SEKTOR II, Balaraja dipimpin oleh Komandan Batalyon I yang terdiri dari pasukan Resimen I. Dislokasi pasukan di Balaraja, Jatake dan Cikupa.
  • SEKTOR III, Parungpanjang terdiri dari Pasukan Batalyon II Resimen II yang dipimpin oleh Kapten Soleman dengan dislokasi pasukan adalah Karawaci, Kelapadua, Cijantra, Curug, Malangnengah, Parungpanjang, Legok, Cihuni dan Lengkong.
  • SEKTOR IV, Leuwiliang dipimpin oleh Mayor Dudung Padmadikarta yang terdiri dari Pasukan Batalyon I Resimen II dengan dislokasi pasukan adalah di Lebakwangi, Cicangkul, Leuwiliang dan Cikotok.
  • SEKTOR V, Cikotok dipimpin oleh Kapten M.Soepta Widjaya yang terdiri dari Pasukan Kompi IV, Batalyon I Resimen II dengan dislokasi pasukan di Rabig dan Cibareno.
Pada tahun 1946 banyak terjadi pertempuran antara Pasukan Banten melawan Pasukan Belanda didaerah garis demarkasi yang memakan banyak korban di kedua belah pihak. Masing-masing pihak mempunyai kelebihan. Tentara Belanda unggul dalam persenjataan, sedangkan tentara Banten unggul dalam jumlah personel dan semangat. Dari sekian banyak pertempuran yang paling banyak memakan korban di pihak pasukan Belanda adalah pertempuran di Serpong.
Pertempuran di Serpong pada akhir bulan Mei 1946 terjadi karena serangan laskar-laskar dari Banten terhadap tentara Belanda. Serangan itu terjadi karena Banten merasa terancam dengan didudukinya Serpong oleh Belanda. Beberapa hari setelah Serpong diduduki oleh Belanda, tanggal 23 Mei 1946 pasukan laskar dari Desa Sampeureun, Kecamatan Maja, suatu tempat yang dekat dengan garis demarkasi, berjalan menuju Serpong. Pasukan berkekuatan 400 orang dibawah pimpinan KH.Ibrahim. Sesampai di Tenjo pasukan bergabung dengan pasukan laskar dari Tenjo yang dipimpin oleh KH. Harun, seorang ulama yang terkenal sebagai Abuya Tenjo. Laskar Tenjo berjumlah sekitar 300 orang.
Pada tanggal 25 Mei 1946 kedua pasukan tersebut dengan menggunakan senjata tajam terus berjalan kaki menuju Parungpanjang, suatu tempat disebelah barat Serpong. Disepanjang perjalanan menuju sasaran pasukan bertambah terus di antaranya dari Pasukan dari Kampung Sengkol pimpinan Jaro Tiking, pasukan dari Rangkasbitung pimpinan Mama Hasyim dan Pasukan Laskar pimpinan Nafsirin Hadi dan E.Mohammad Mansyur.
Pada tanggal 25 Mei 1946 malam, para pimpinan pasukan berunnding untuk mengatur siasat pertempuran. Esok harinya, tanggal 26 Mei 1946 Serpong di serang. Pasukan Pimpinan KH.Harun menyerang dari belakang sedangkan Pasukan Pimpinan KH.Ibrahim, pasukan pimpinan Mama Hasyim dan pasukan pimpinan E.Mohammad Masyur menyerang dari depan dengan melalui jalan raya Serpong. Dalam gerakan menuju sasaran pasukan mengumandangkan takbir “Allahhu Akbar”. Suara takbir itu membuat pasukan Belanda waspada dan siap mengambil posisi ditempat-tempat yang strategis. Pasukan laskar Banten maju terus dengan mengumandakan takbir dan Pasukan Belanda gencar menembaknya sehingga korban berjatuhan. Suara Takbir lambat laun melemah dan akhirnya tidak terdengar lagi dan pasukan Banten sekitar 200 orang gugur, termasuk KH.Ibrahim dan Jaro Tiking.
Untuk mengurus dan memakamkan jenazah para korban, Nafsirin Hadi berhasil menemui Pimpinan tentara Belanda, seorang Letnan KNIL. Permintaannya dikabulkan dengan mengatakan : “Saya diharuskan memberikan Tuan izin untuk menguburkan jenazah-jenazah itu, tetapi hanya oleh empat orang dari Pasukan Tuan. Dan pukul 06.00 sore, Tuan harus sudah meninggalkan tempat ini. Atas persetujuan pimpinan tentara Belanda para korban itu pada tanggal 27 Mei 21946 siang dikubur secara masal dalam tiga lubang besar. Namun tempat pemakaman itu kemudian diberi nama “MAKAM PAHLAWAN SERIBU” yang terletak di Kampung Pariang, Serpong.
Beberapa hari setelah pertempuran di Serpong, pada tanggal 30 Mei 1946, pertahanan TRI di Jatiuwung diserang tentara Belanda yang berkekuatan satu kompi kavaleri dan satu regu artileri. Pertempuran tidak dapat dihindarkan. Karena kalah dalam persenjataan, pertahanan TRI di Jatiuwungbobol dan TRI mundur ke Cikupa. Setengah Bulan kemudian, tanggal 16 Mei 1946, pertahanan TRI di Tangerang diserang tentara Belanda. Pertahanan TRI di Curug bobol dan tentara Belanda langsung menduduki Balaraja, namun hanya selama tiga hari karena tentara Belanda harus kembali ke Tangerang sehubungan dengan adanya gencatan senjata dalam rangka Perjanjian Linggarjati,
Selesai re-organisasi, pembagian daerah pertahanan diubah dari lima menjadi Empat Sektor.
  • SEKTOR I, Merak dihapus dan daerahnya dimasukan kedalam SEKTOR II. Keduanya menjadi SEKTOR I, Balaraja yang dipimpin oleh Kapten RE.Djaelani.
  • SEKTOR III, Parungpanjang diubah menjadi SEKTOR II dan dipimpin oleh Kapten R.Sachra Sastrakoesoemah.
  • SEKTOR IV, Jasinga – Leuwiliang diubah menjadi SEKTOR III dan dipimpin oleh Kapten Soleman.
  • SEKTOR V, Cikotok diubah menjadi SEKTOR IV dan dipimpin oleh M.Soeparta Widjaja.
Pada tanggal 21 Juli 1947 Belanda melakukan agresi militer pertama. Daerah RI diserang dari tiga jurusan, yaitu darat, laut dan udara. Untuk keamanan Jakarta, Panglima Perang Belanda, Jenderal Spoor memerintahkan pasukan ketiga resimennya yaitu Resimen Jagore, Resimen Grenadiers dan Resimen Hazaron van Boreel untuk mendesak Pasukan TNI mundur ke Barat sekitar 14 sampai 20 km dari garis status quo van mook. Untuk keamanan Jakarta, Belanda melebarkan daerah kekuasaannya ke Barat dan menguasai Kracak, suatu tempay disebelah barat Bogor yang menjadi pusat tenaga listrik yang menerangi kota Jakarta.
Untuk memecah kekuatan TNI, tanggal 20 Juli 1947 siang, Lapangan Udara Gorda, Serang dibom pesawat pembom Belanda. Malam harinya, perairan Pelabuhan Merak dimasuki dua buah Kapal Perang Belanda yang menembaki gedung pelabuhan. ALRI Banten membalas, dua kapal perang itu menyinkir, namun pada waktu-waktu berikutnya sering mondar mandir di Laut Jawa dan Selat Sunda. Pada tanggal 20 Agustus 1947 tengah malam, sebuah kapal Belanda berlabuh di Pulau Liwungan di Teluk Lada dan menurunkan sekoci yang berisi beberapa tentara Belanda yang kemudian menuju Labuan. Tentara Belanda ini menembak ke arah Labuan dan kemudian berlabuh di dekatnya (Antara, 23 Agustus 1947).
Menanggapi serangan-serangan mendadak Belanda itu, Komandan Tempur Brigade Tirtayasa memerintahkan Komandan Sektor I Kapten R.E. Djaelani untuk menyerang Tangerang pada malam harinya. Komandan Sektor I mengerahkan enam kompi pasukan tempurnya untuk menyerang dari tiga jurusan. Sayap kiri berada di sebelah utara, di Merak. Sayap Tengah berada di jalan Balaraja – Tangerang dan Sayap Kanan berada di sebelah Selatan. Serangan dimulai waktu fajar itu dipimpin oleh Komandan Sektor I. Sepanjang hari tanggal 21 Juli 1947 terjadi pertempuran di sekitar Sepatan, Cimone dan Karawaci. Belanda mengerahkan pasukan Infanteri dan pasukan lapis bajanya yang dilindungi dari udara. Menjelang matahari terbenam, komandan pertempuran menarik mundur pasukannya kembali ke tempat semula, lalu diadakan konsolidasi pasukan dan penetapan posisi baru. Sementara itu, pasukan Belanda memusatkan serangannya ke Kelapadua Curug dan Bitung, Belanda akhirnya dapat menduduki Jatake. Ditempat inilah kemudian ditempatkan oleh Belanda satu kompi pasukannya.
Sementara itu, pada tanggal 21 Juli 1947, pukul 00.00 tentara Belanda dari Batalyon III Resimen Jager merebut Pusat Tenaga Listrik di Kracak. Mulai pukul 03.00 sampai pagi hari terjadi pertempuran di Leuwiliang yang berakhir dengan didudukinya kota itu. Pasukan TNI mundur ke barat dan selatan. Pasukan TNI dari Batalyon IX Brigade Suryakencana mundur ke selatan, ke Kracak yang dikejar terus oleh tentara Belanda. Kracak akhirnya dapat diduduki oleh Belanda. Kemudian di sana ditempatkan pasukan Belanda yang cukup kuat untuk melindungi Pusat Tenaga Listrik.
Setelah pertempuran-pertempuran tersebut, didaerah perbatasan antara Banten dan Bogor dan antara Banten dan Tangerang selalu terjadi pertempuran antara pasukan TNI melawan pasukan Belanda. Pertempuran itu terjadi antara lain karena serangan-serangan tentara Belanda terhadap pasukan TNI. Pertempuran yang paling sering terjadi ada didaerah sebelah selatan Tangerang, seperti dikampung Pabuaran, Parungpanjang dan disebelah barat daya Tangerang, seperti Cikupa yang memakan banyak korban. 

0 komentar: