Blue Fire Pointer

Pertempuran di Banten pada Masa Revolusi

Pertempuran di Banten pada Masa Revolusi


PANDEGLANG (22/04), Setelah pertempuran melawan Kempetai di Serang pada awal bulan Oktober 1945 yang berakhir dengan kaburnya tentara Jepang dari daerah itu, bangsa asing lain yang segera dihadapi Banten adalah tentara Inggris dan Belanda. Perlu dikemukakan disini bahwa tentara Sekutu yang diwakili oleh Tentara Inggris, yang akan melucuti tentara Jepang, mendarat di Jakarta pada akhir bulan September 1945. Mereka diboncengi tentara NICA yang akan menerima kembali Indonesia dari tangan Inggris.
Mengenai adanya kejadian-kejadian yang melanggar perikemanusiaan di daerah-daerah yang didatangi Inggris seperti Jakarta, Bandung, Semarang dan Surabaya, rakyat Banten menyatakan sikap politiknya. Mereka dengan semangat yang tinggi bersedia pergi keluar daerahnya untuk membantu sesama bangsa melawan pengganggu Kemerdekaan Indonesia. Mereka menyatakan tidak dapat menerima kedatangan tentara Inggris di Banten. Sehubungan dengan itu mereka tidak menjamin keselamatannya. Sampai akhir bulan Oktober 1945 Belanda belum ada yang datang di daerah Banten. Pernah ada usaha dari Belanda untuk mendaratkan pasukannya melalui laut di Pantai Utara Banten, namun dapat digagalkan oleh TKR.
Karena semangat yang tinggi untuk memerangi Belanda, mengingat bahwa bangsa asing itu belum juga masuk ke daerah Banten, maka rakyat Banten yang tergabung dalam barisan-barisan rakyat melurug keluar daerahnya untuk mengusir Belanda yang ada di daerah Tangerang dan Bogor. Sebagai contoh, pada tanggal 22 Oktober 1945 Barisan Rakyat dari Warunggunung Kabupaten Lebak, sekitar 160 orang dengan senjata senapan dan golok menyerang Pondoklitung, suatu tempat di dekat Kebayoran yang menjadi sarang tentara NICA. Malam harinya pertempuran dihentikan dan esok harinya pertempuran dimulai lagi. Barisan rakyat yang begitu berani itu menyerang sampai lima meter dimuka tangsi NICA di Kebayoran. Akan tetapi, karena gencarnya tembakan senjata mesin dari Tangsi NICA, pasukan rakyat mundur. Empat hari kemudian, serangan dilakukan lagi secara besar-besaran yang mendapat bantuan rakyat dari daerah Tangerang, Bogor dan Banten. Tangsi NICA di Kebayoran ditinggalkan oleh tentaranya, namun sekitar 200 orang tentara NICA masih ada di dekat Kewedanaan Kebayoran. Pasukan Rakyat Banten bertekad untuk menghancurkan mereka. Setelah kejadian itu, agen-agen NICA yang masuk kedaerah Banten, yang antara lain bermaksud membeli beras untuk keperluan NICA, diperiksa dengan sangat teliti.
Dalam tahun 1946, sepanjang daerah perbatasan teritorial Brigade Tirtayasa dengan daerah kekuasaan Belanda, dari pantai utara hingga pantai selatan, dibagi menjadi lima sektor pertahanan. Garis demarkasi antara Banten dengan daerah di sebelah timurnya di adalah Sungai Cisadane keselatan sampai di Gobang, terus selatan sampai di K rekel, kemudian terus menyusuri sungai Cianten Leuwiliang. Kelima Sektor itu dari utara ke Selatan adalah sebagai berikut :
  • SEKTOR I, Merak dipimpin oleh Mayor Ali Amangku. Sektor ini terdiri dari Polisi Tentara Batalyon XI dengan dislokasi pasukan sekitar Merak, Jati, Sepatan, Pakuaji dan sepanjang sungai Cimone.
  • SEKTOR II, Balaraja dipimpin oleh Komandan Batalyon I yang terdiri dari pasukan Resimen I. Dislokasi pasukan di Balaraja, Jatake dan Cikupa.
  • SEKTOR III, Parungpanjang terdiri dari Pasukan Batalyon II Resimen II yang dipimpin oleh Kapten Soleman dengan dislokasi pasukan adalah Karawaci, Kelapadua, Cijantra, Curug, Malangnengah, Parungpanjang, Legok, Cihuni dan Lengkong.
  • SEKTOR IV, Leuwiliang dipimpin oleh Mayor Dudung Padmadikarta yang terdiri dari Pasukan Batalyon I Resimen II dengan dislokasi pasukan adalah di Lebakwangi, Cicangkul, Leuwiliang dan Cikotok.
  • SEKTOR V, Cikotok dipimpin oleh Kapten M.Soepta Widjaya yang terdiri dari Pasukan Kompi IV, Batalyon I Resimen II dengan dislokasi pasukan di Rabig dan Cibareno.
Pada tahun 1946 banyak terjadi pertempuran antara Pasukan Banten melawan Pasukan Belanda didaerah garis demarkasi yang memakan banyak korban di kedua belah pihak. Masing-masing pihak mempunyai kelebihan. Tentara Belanda unggul dalam persenjataan, sedangkan tentara Banten unggul dalam jumlah personel dan semangat. Dari sekian banyak pertempuran yang paling banyak memakan korban di pihak pasukan Belanda adalah pertempuran di Serpong.
Pertempuran di Serpong pada akhir bulan Mei 1946 terjadi karena serangan laskar-laskar dari Banten terhadap tentara Belanda. Serangan itu terjadi karena Banten merasa terancam dengan didudukinya Serpong oleh Belanda. Beberapa hari setelah Serpong diduduki oleh Belanda, tanggal 23 Mei 1946 pasukan laskar dari Desa Sampeureun, Kecamatan Maja, suatu tempat yang dekat dengan garis demarkasi, berjalan menuju Serpong. Pasukan berkekuatan 400 orang dibawah pimpinan KH.Ibrahim. Sesampai di Tenjo pasukan bergabung dengan pasukan laskar dari Tenjo yang dipimpin oleh KH. Harun, seorang ulama yang terkenal sebagai Abuya Tenjo. Laskar Tenjo berjumlah sekitar 300 orang.
Pada tanggal 25 Mei 1946 kedua pasukan tersebut dengan menggunakan senjata tajam terus berjalan kaki menuju Parungpanjang, suatu tempat disebelah barat Serpong. Disepanjang perjalanan menuju sasaran pasukan bertambah terus di antaranya dari Pasukan dari Kampung Sengkol pimpinan Jaro Tiking, pasukan dari Rangkasbitung pimpinan Mama Hasyim dan Pasukan Laskar pimpinan Nafsirin Hadi dan E.Mohammad Mansyur.
Pada tanggal 25 Mei 1946 malam, para pimpinan pasukan berunnding untuk mengatur siasat pertempuran. Esok harinya, tanggal 26 Mei 1946 Serpong di serang. Pasukan Pimpinan KH.Harun menyerang dari belakang sedangkan Pasukan Pimpinan KH.Ibrahim, pasukan pimpinan Mama Hasyim dan pasukan pimpinan E.Mohammad Masyur menyerang dari depan dengan melalui jalan raya Serpong. Dalam gerakan menuju sasaran pasukan mengumandangkan takbir “Allahhu Akbar”. Suara takbir itu membuat pasukan Belanda waspada dan siap mengambil posisi ditempat-tempat yang strategis. Pasukan laskar Banten maju terus dengan mengumandakan takbir dan Pasukan Belanda gencar menembaknya sehingga korban berjatuhan. Suara Takbir lambat laun melemah dan akhirnya tidak terdengar lagi dan pasukan Banten sekitar 200 orang gugur, termasuk KH.Ibrahim dan Jaro Tiking.
Untuk mengurus dan memakamkan jenazah para korban, Nafsirin Hadi berhasil menemui Pimpinan tentara Belanda, seorang Letnan KNIL. Permintaannya dikabulkan dengan mengatakan : “Saya diharuskan memberikan Tuan izin untuk menguburkan jenazah-jenazah itu, tetapi hanya oleh empat orang dari Pasukan Tuan. Dan pukul 06.00 sore, Tuan harus sudah meninggalkan tempat ini. Atas persetujuan pimpinan tentara Belanda para korban itu pada tanggal 27 Mei 21946 siang dikubur secara masal dalam tiga lubang besar. Namun tempat pemakaman itu kemudian diberi nama “MAKAM PAHLAWAN SERIBU” yang terletak di Kampung Pariang, Serpong.
Beberapa hari setelah pertempuran di Serpong, pada tanggal 30 Mei 1946, pertahanan TRI di Jatiuwung diserang tentara Belanda yang berkekuatan satu kompi kavaleri dan satu regu artileri. Pertempuran tidak dapat dihindarkan. Karena kalah dalam persenjataan, pertahanan TRI di Jatiuwungbobol dan TRI mundur ke Cikupa. Setengah Bulan kemudian, tanggal 16 Mei 1946, pertahanan TRI di Tangerang diserang tentara Belanda. Pertahanan TRI di Curug bobol dan tentara Belanda langsung menduduki Balaraja, namun hanya selama tiga hari karena tentara Belanda harus kembali ke Tangerang sehubungan dengan adanya gencatan senjata dalam rangka Perjanjian Linggarjati,
Selesai re-organisasi, pembagian daerah pertahanan diubah dari lima menjadi Empat Sektor.
  • SEKTOR I, Merak dihapus dan daerahnya dimasukan kedalam SEKTOR II. Keduanya menjadi SEKTOR I, Balaraja yang dipimpin oleh Kapten RE.Djaelani.
  • SEKTOR III, Parungpanjang diubah menjadi SEKTOR II dan dipimpin oleh Kapten R.Sachra Sastrakoesoemah.
  • SEKTOR IV, Jasinga – Leuwiliang diubah menjadi SEKTOR III dan dipimpin oleh Kapten Soleman.
  • SEKTOR V, Cikotok diubah menjadi SEKTOR IV dan dipimpin oleh M.Soeparta Widjaja.
Pada tanggal 21 Juli 1947 Belanda melakukan agresi militer pertama. Daerah RI diserang dari tiga jurusan, yaitu darat, laut dan udara. Untuk keamanan Jakarta, Panglima Perang Belanda, Jenderal Spoor memerintahkan pasukan ketiga resimennya yaitu Resimen Jagore, Resimen Grenadiers dan Resimen Hazaron van Boreel untuk mendesak Pasukan TNI mundur ke Barat sekitar 14 sampai 20 km dari garis status quo van mook. Untuk keamanan Jakarta, Belanda melebarkan daerah kekuasaannya ke Barat dan menguasai Kracak, suatu tempay disebelah barat Bogor yang menjadi pusat tenaga listrik yang menerangi kota Jakarta.
Untuk memecah kekuatan TNI, tanggal 20 Juli 1947 siang, Lapangan Udara Gorda, Serang dibom pesawat pembom Belanda. Malam harinya, perairan Pelabuhan Merak dimasuki dua buah Kapal Perang Belanda yang menembaki gedung pelabuhan. ALRI Banten membalas, dua kapal perang itu menyinkir, namun pada waktu-waktu berikutnya sering mondar mandir di Laut Jawa dan Selat Sunda. Pada tanggal 20 Agustus 1947 tengah malam, sebuah kapal Belanda berlabuh di Pulau Liwungan di Teluk Lada dan menurunkan sekoci yang berisi beberapa tentara Belanda yang kemudian menuju Labuan. Tentara Belanda ini menembak ke arah Labuan dan kemudian berlabuh di dekatnya (Antara, 23 Agustus 1947).
Menanggapi serangan-serangan mendadak Belanda itu, Komandan Tempur Brigade Tirtayasa memerintahkan Komandan Sektor I Kapten R.E. Djaelani untuk menyerang Tangerang pada malam harinya. Komandan Sektor I mengerahkan enam kompi pasukan tempurnya untuk menyerang dari tiga jurusan. Sayap kiri berada di sebelah utara, di Merak. Sayap Tengah berada di jalan Balaraja – Tangerang dan Sayap Kanan berada di sebelah Selatan. Serangan dimulai waktu fajar itu dipimpin oleh Komandan Sektor I. Sepanjang hari tanggal 21 Juli 1947 terjadi pertempuran di sekitar Sepatan, Cimone dan Karawaci. Belanda mengerahkan pasukan Infanteri dan pasukan lapis bajanya yang dilindungi dari udara. Menjelang matahari terbenam, komandan pertempuran menarik mundur pasukannya kembali ke tempat semula, lalu diadakan konsolidasi pasukan dan penetapan posisi baru. Sementara itu, pasukan Belanda memusatkan serangannya ke Kelapadua Curug dan Bitung, Belanda akhirnya dapat menduduki Jatake. Ditempat inilah kemudian ditempatkan oleh Belanda satu kompi pasukannya.
Sementara itu, pada tanggal 21 Juli 1947, pukul 00.00 tentara Belanda dari Batalyon III Resimen Jager merebut Pusat Tenaga Listrik di Kracak. Mulai pukul 03.00 sampai pagi hari terjadi pertempuran di Leuwiliang yang berakhir dengan didudukinya kota itu. Pasukan TNI mundur ke barat dan selatan. Pasukan TNI dari Batalyon IX Brigade Suryakencana mundur ke selatan, ke Kracak yang dikejar terus oleh tentara Belanda. Kracak akhirnya dapat diduduki oleh Belanda. Kemudian di sana ditempatkan pasukan Belanda yang cukup kuat untuk melindungi Pusat Tenaga Listrik.
Setelah pertempuran-pertempuran tersebut, didaerah perbatasan antara Banten dan Bogor dan antara Banten dan Tangerang selalu terjadi pertempuran antara pasukan TNI melawan pasukan Belanda. Pertempuran itu terjadi antara lain karena serangan-serangan tentara Belanda terhadap pasukan TNI. Pertempuran yang paling sering terjadi ada didaerah sebelah selatan Tangerang, seperti dikampung Pabuaran, Parungpanjang dan disebelah barat daya Tangerang, seperti Cikupa yang memakan banyak korban. 

0 komentar:

PERTEMPURAN BANDUNG LAUTAN API

PERTEMPURAN BANDUNG LAUTAN API

PERTEMPURAN BANDUNG LAUTAN API (1)

File:Lambang Kota Bandung.svg
     
A. Latar Belakang Pertempuran Bandung Lautan Api

Pasukan Sekutu Inggris memasuki kota Bandung sejak pertengahan oktober 1945. Menjelang november 1945, pasukan NICA semakin merajelela di Bandung dengan aksi terornya. Masuknya tentara sektu dimanfaatkan oleh NICA untuk mengembalikan kekuasaanya di Indonesia. Tapi semangat juang rakyat dan para pemuda Bandung tetap berkobar. 
Latar belakang Bandung Lautan Api, antara lain :


1) Pasukan sekutu Inggris memasuki kota Bandung dan sikap pasukan NICA yang merajalela dengan aksi terornya.
2) Perundingan antara pihak RI dengan Sekutu/NICA, dimana Bandung dibagi dua bagian.
3) Bendungan sungai Cikapundung yang jebol dan menyebabkan banjir besar dalam kota
4) Keinginan sektu yang menuntut pengosongan sejauh 11km dari Bandung Utara.
B. Proses Terjadinya Pertempuran Bandung Lautan Api
Suatu peristiwa di bulan Maret 1946, dalam waktu tujuh jam, sekitar 200.000 penduduk mengukir sejarah dengan membakar rumah dan harta benda mereka, meninggalkan kota Bandung menuju pegunungan di selatan. Peristiwa itu di kenal sebagai Bandung Lautan Api. Sebuah memorabilia sejarah Bandung.

Pada awal tahun 1946, Inggris menjanjikan penarikan pasukannya dari Jawa Barat dan menyerahkan kepada Belanda, untuk selanjutnya digunakan sebagai basis militer. Kesepakatan sekutu, Inggris dan NICA (Nederlands Indie Civil Administration) memunculkan perlawanan heroic dari masyarakat dan pemuda pejuang di Bandung, ketika tentara Inggris dan NICA melakukan serangan militer ke Bandung. Tentara sekutu berusaha untuk menguasai Bandung, meskipun harus melanggar hasil perundingan dengan RI.Agresi militer Inggris dan NICA Belanda  pun memicu tindakan pembumihangusan kota oleh para pejuang dan masyarakat Bandung. 
Bumi hangus adalah memusnahkan dengan pembakaran semua barang, bangunan, gedung yang mungkin akan dipakai oleh musuh.
Sekutu dan NICA Belanda, yang menguasai wilayah Bandung Utara (wilayah di utara jalan kereta api yang membelah kota Bandung dari timur ke barat), memberikan ultimatum (23 Maret 1946) supaya Tentara Republik Indonesia (TRI) mundur sejauh 11 km dari pusat kota (wilayah di selatan jalan kereta api dikuasai TRI) paling lambat pada tengah malam tanggal 24 Maret 1946. Akibatnya pertempuran pun kembali menghebat. Pada saat itu datang dua buah surat perintah yang isinya membingungkan, yaitu :                                                                   
 1)      Dari perdana Menteri Amir Syarifudin                                                                                                  Bahwa para pejuang / pasukan RI harus mundur  dari kota Bandung sesuai dengan perjanjian antara pemerintah RI dengan Sekutu yanag saat itu sedang berlangsung di Jakarta.
       2)      Dari Panglima TKR (Jenderal Sudirman)
Bahwa para pejuang/pasukan RI harus mempertahankan Kota bandung sampai titik darah penghabisan.
Menghadapi dua perintah yang berbeda ini, akhirnya pada 24 Maret 1946 pukul 10.00 WIB, para petinggi TRI mengadakan rapat untuk menyikapi perintah PM Sjahril di Markas Divisi III TKR. Rapat ini dihadiri para pemimpin pasukan Komandan Divisi III Kolonel Nasution, Komandan Resimen 8 Letkol Omon Abdurrahman, Komandan Batalyon I Mayor Abdurrahman, Komandan Batalyon II Mayor Sumarsono, Komandan Batalyon III Mayor Ahmad Wiranatakusumah, Ketua MP3 Letkol Soetoko, Komandan Polisi Tentara Rukana, dan perwakilan tokoh masyarakat dan pejuang Bandung.

Dalam menyikapi ultimatum Inggris, sikap para pejuang terbelah. Ada yang menginginkan bertahan di Bandung sambil melakukan perlawanan hingga titik darah penghabisan, ada juga yang memilih meninggalkan Bandung sambil mengatur strategi gerilya ketika berada di luar Bandung. Meski begitu, tujuan mereka sama yakni menolak keras upaya penjajahan kembali oleh Belanda.

Rapat pun berlangsung alot dan panas. Berbagai usulan perlawanan disampaikan peserta rapat, salah satu usul adalah meledakkan terowongan Sungai Citarum di Rajamandala sehingga airnya merendam Bandung. Usul ini disampaikan Rukana. Namun saking emosinya, Rukana menyebut usulnya agar Bandung menjadi “lautan api”, padahal maksudnya “lautan air”. Diduga, dari rapat inilah muncul istilah Bandung Lautan Api.

Usul lain muncul dari tokoh Angkatan Muda Pos Telegrap dan Telepon (AMPTT),  Soetoko,  yang tidak setuju jika hanya TRI saja yang meninggalkan Bandung. Menurutnya, rakyat harus bersama TKR mengosongkan kota Bandung.
Sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam militer di Bandung, Nasution akhirnya memutuskan untuk mentaati keputusan pemerintah RI. Keputusan ini berisi beberapa poin, di antaranya TRI akan mundur sambil melakukan melakukan infiltrasi atau bumi hangus, hingga Bandung diserahkan dalam keadaan tidak utuh.

Lalu rakyat akan diajak mengungsi bersama TRI. Selama pengungsian, TRI dan pejuang akan melakukan perlawanan dengan taktik gerilya ke Bandung Utara dan Selatan yang dikuasai musuh.

Melalui siaran RRI pada pukul 14.00, Nasution mengumumkan:  bahwa semua pegawai dan rakyat harus keluar sebelum pukul 24.00, tentara melakukan bumi hangus terhadap objek vital di Bandung agar tidak dipakai Inggris dan NICA.

Saat malam tiba, TRI akan menyerang Bandung. TRI juga mempersiapkan sejumlah titik pengungsian bagi Keresidenan Priangan, Walikota Bandung, Bupati Bandung, Jawatan KA, Jawatan PTT, rumah sakit, dan lain-lain.

Rakyat sebagian ada yang menerima informasi tersebut, sebagian lagi hanya mendengar desas-desus bahwa Bandung akan dibakar dan penduduknya harus ngungsi segera menyebar, tetapi banyak juga yang tidak mengetahui sama sekali. Namun situasi umum waktu itu mencekam, kepanikan di mana-mana.
Meski panik, secara umum rakyat mematuhi keputusan pemerintah. Banyak rakyat yang mengungsi, Meski berat hati harus meninggalkan rumah yang sudah mereka ditinggali sejak kecil. Tempat tujuan pengungsi menyebar, mulai dari Cililin, Ciparay dan Majalaya, Tasikmalaya, Cianjur, Ciwidey, Garut, Sukabumi, bahkan adaya yang mengikuti hingga Jogjakarta.
TRI menjadwalkan peledakan pertama dimulai pukul 24.00 WIB di Gedung Regentsweg, selatan Alun-alun Bandung yaitu Gedung Indische Restaurant (sekarang Gedung BRI), sebagai aba-aba untuk meledakan semua gedung.

Di tengah persiapan itu tiba-tiba terjadi ledakkan. Seorang pejuang, Endang Karmas, mengaku heran dengan adanya ledakan, padahal baru pukul 20.00 WIB. Ledakkan pertama itu terlanjut dianggap aba-aba, sehingga pejuang lain pun tergesa-gesa melakukan pembakaran dan peledakkan gedung.

Karena persiapan yang minim, banyak gedung vital yang tidak bisa diledakkan, kalaupun meledak, tidak sanggup merusak bangunan yang terlalu kokoh.

Beberapa kemungkinan menjadi pemicu melesetnya jadwal ledakkan dari jadwal semula,  yakni faktor teknis atau keterampilan menguasi bahan peledak yang minim, alat peledak yang kurang, atau ada sabotase oleh musuh untuk menggagalkan sekenario Bandung Lautan Api.

Terlebih saat persiapan pengungsian pasukan Gurkha dan NICA terus melakukan provokasi hingga penembakan terhadap para pejuang. Hal itulah yang membuat rencana pembakaran dan penghancuran objek vital tidak berjalan seperti rencana.

Kebakaran hebat justru timbul dari rumah-rumah warga yang sengaja dibakar, baik oleh pejuang maupun oleh pemilik rumah yang sukarela membakar rumahnya sebelum berangkat ngungsi. Rumah-rumah warga yang dibakar membentang dari Jalan Buah Batu, Cicadas, Cimindi, Cibadak, Pagarsih, Cigereleng, Jalan Sudirman, Jalan Kopo. Kobaran api terbesar ada di daerah Cicadas dan Tegalega, di sekitar Ciroyom, Jalan Pangeran Sumedang (Oto Iskandar Dinata), Cikudapateuh, dan lain-lain.
Semua listrik mati. Inggris mulai menyerang sehingga pertempuran sengit terjadi. Pertempuran yang paling seru terjadi di Desa Dayeuhkolot, sebelah selatan Bandung, di mana terdapat pabrik mesiu yang besar milik Sekutu. TRI bermaksud menghancurkan gudang mesiu tersebut. Untuk itu diutuslah Muhammad Toha dan Ramdan. Kedua pemuda itu berhasil meledakkan gudang tersebut dengan granat tangan. Gudang besar itu meledak dan terbakar, tetapi kedua pemuda itu pun ikut gugur sebagai pahlawan bangsa.
Sejarah heroic itu tercatat dalam sejarah bangsa Indonesia sebagai peristiwa Bandung Lautan Api (BLA). Lagu Halo-halo Bandung ciptaan Ismail Marzuki menjadi lagi perjuangan pada saat itu. NICA Belanda berhasil menguasai Jawa Barat melalui Perjanjian Renville (17 Januari 1948).
Beberapa tahun kemudian, lagu "Halo-Halo Bandung" ditulis untuk melambangkan emosi mereka, seiring janji akan kembali ke kota tercinta, yang telah menjadi lautan api. Perlambang emosi mereka, seiring janji akan kembali ke kota tercinta, yang telah menjadi lautan api.
Kesimpulan :
Terjadinya peristiwa bandung lautan api diawali dari datangnya sekutu pada bulan Oktober 1945. Peristiwa ini dilatar belakangi oleh ultimatum sekutu untuk mengosongkan kota bandung pada tanggal 21 november 1945. Sekutu mengeluarkan ultimatum pertama isinya kota bandung bagian utara selambat-lambatnya tanggal 29 november 1945 dikosongkan oleh para pejuang. Ultimatum tersebut tidak dianggap, selanjutnya tanggal 23 maret 1946 sekutu mengeluarkan ultimatum kembali yang isinya hampir sama dengan ultimatum pertama.

0 komentar:

Perlawanan Menentang Penjajah: Perang Aceh (1873 – 1904)

Perlawanan Menentang Penjajah: Perang Aceh (1873 – 1904)

 


  •   Penandatanganan Traktat Sumatra antara Inggris dan Belanda pada tahun 1871 membuka kesempatan kepada Belanda untuk mulai melakukan intervensi ke Kerajaan Aceh. Belanda menyatakan perang terhadap Kerajaan Aceh karena Kerajaan Aceh menolak dengan keras untuk mengakui kedaulatan Belanda. Kontak pertama terjadi antara pasukan Aceh dengan sebagian tentara Belanda yang mulai mendarat.
  • Pertempuran itu memaksa pasukan Aceh mengundurkan diri ke kawasan Masjid Raya. Pasukan Aceh tidak semata-mata mundur tapi juga sempat memberi perlawanan sehingga Mayor Jenderal Kohler sendiri tewas. Dengan demikian, Masjid Raya dapat direbut kembali oleh pasukan Aceh. Daerah-daerah di kawasan Aceh bangkit melakukan perlawanan.
    Para pemimpin Aceh yang diperhitungkan Belanda adalah Cut Nya’Din, Teuku Umar, Tengku Cik Di Tiro, Teuku Ci’ Bugas, Habib Abdurrahman, dan Cut Mutia. Belanda mencoba menerapkan siasat konsentrasi stelsel yaitu sistem garis pemusatan di mana Belanda memusatkan pasukannya di benteng-benteng sekitar kota termasuk Kutaraja. Belanda tidak melakukan serangan ke daerah-daerah tetapi cukup mempertahankan kota dan pos-pos sekitarnya. Namun, siasat ini tetap tidak berhasil mematahkan perlawanan rakyat Aceh.
    Tengku Cik Di Tiro - Teuku Umar - Cut Nya Din
    Tengku Cik Di Tiro – Teuku Umar – Cut Nya Din
    Para pemimpin perlawanan rakyat Aceh
    [Sumber: Album Pahlawan Bangsa, 2004]
    Kegagalan-kegagalan tersebut menyebabkan Belanda berpikir keras untuk menemukan siasat baru. Untuk itu, Belanda memerintahkan Dr. Snouck Hurgronje yang paham tentang agama Islam untuk mengadakan penelitian tentang kehidupan masyarakat Aceh. Dr. Snouck Hurgronje memberi saran dan masukan kepada pemerintah Hindia Belanda mengenai hasil penyelidikannya terhadap masyarakat Aceh yang ditulis dengan judul De Atjehers.
    Berdasarkan kesimpulan Dr. Snouck Hurgronje pemerintah Hindia Belanda memperoleh petunjuk bahwa untuk menaklukkan Aceh harus dengan siasat kekerasan. Pada tahun 1899, Belanda mulai menerapkan siasat kekerasan dengan mengadakan serangan besar-besaran ke daerah-daerah pedalaman. Serangan-serangan tersebut dipimpin oleh van Heutz.
    Tanpa mengenal perikemanusiaan, pasukan Belanda membinasakan semua penduduk daerah yang menjadi targetnya. Satu per satu pemimpin para pemimpin perlawanan rakyat Aceh menyerah dan terbunuh. Dalam pertempuran yang terjadi di Meulaboh, Teuku Umar gugur. Jatuhnya Benteng Kuto Reh pada tahun 1904, memaksa Aceh harus menandatangani Plakat pendek atau Perjanjian Singkat (Korte Verklaring).
    Biar pun secara resmi pemerintah Hindia Belanda menyatakan Perang Aceh berakhir pada tahun 1904, dalam kenyataannya tidak. Perlawanan rakyat Aceh terus berlangsung sampai tahun 1912. Bahkan di beberapa daerah tertentu di Aceh masih muncul perlawanan sampai menjelang Perang Dunia II tahun 1939.
    Pengetahuan:
    Pada tanggal 2 November 1871 Belanda mengadakan perjanjian dengan Inggris yang kemudian menghasilkan Traktat Sumatra. Traktat tersebut berisi bahwa pihak Belanda diberi kebebasan memperluas daerah kekuasaannya di Aceh. Sedang Inggris mendapat kebebasan berdagang di daerah siak.
    Kesimpulan hasil penyelidikan Dr. Snouck Hurgronje adalah:
    1. Belanda harus mengesampingkan Sultan, karena Sultan hanya sebagai lambang pemersatu, Kekuatan justru terletak pada Hulubalang dan Ulebalang.
    2. Untuk menaklukkan rakyat Aceh, harus dilakukan serangan serentak di seluruh Aceh.
    3. Setelah nanti mampu menduduki Aceh, mestinya pemerintah Hindia-Belanda harus meningkatkan kesejahteraan rakyat Aceh.

    0 komentar:

    SEJARAH PERTEMPURAN SURABAYA 10 NOVEMBER 1945

    ''SEJARAH PERTEMPURAN SURABAYA 10 NOVEMBER 1945''

    Latar Belakang :

    Pertempuran Surabaya merupakan peristiwa sejarah perang antara pihak tentara Indonesia dan pasukan Belanda. Peristiwa besar ini terjadi pada tanggal 10 November 1945 di kota Surabaya, Jawa Timur. Pertempuran ini adalah perang pertama pasukan Indonesia dengan pasukan asing setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan satu pertempuran terbesar dan terberat dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia yang menjadi simbol nasional atas perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme.

    Kronologi Penyebab Peristiwa

    Kedatangan Tentara Jepang ke Indonesia
    Tanggal 1 Maret 1942, tentara Jepang mendarat di Pulau Jawa, dan tujuh hari kemudian tanggal 8 Maret 1945, pemerintah kolonial Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang berdasarkan perjanjian Kalidjati. Setelah penyerahan tanpa syarat tesebut, Indonesia secara resmi diduduki oleh Jepang.

    Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
    Tiga tahun kemudian, Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu setelah dijatuhkannya bom atom (oleh Amerika Serikat) di Hiroshima dan Nagasaki. Peristiwa itu terjadi pada bulan Agustus 1945. Dalam kekosongan kekuasaan asing tersebut, Soekarno kemudian memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945.

    Kedatangan Tentara Inggris & Belanda 
    Setelah kekalahan pihak Jepang, rakyat dan pejuang Indonesia berupaya melucuti senjata para tentara Jepang. Maka timbullah pertempuran-pertempuran yang memakan korban di banyak daerah. Ketika gerakan untuk melucuti pasukan Jepang sedang berkobar, tanggal 15 September 1945, tentara Inggris mendarat di Jakarta, kemudian mendarat di Surabaya pada 25 Oktober 1945. Tentara Inggris datang ke Indonesia tergabung dalam AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) atas keputusan dan atas nama Blok Sekutu, dengan tugas untuk melucuti tentara Jepang, membebaskan para tawanan perang yang ditahan Jepang, serta memulangkan tentara Jepang ke negerinya. Namun selain itu tentara Inggris yang datang juga membawa misi mengembalikan Indonesia kepada administrasi pemerintahan Belanda sebagai negeri jajahan Hindia Belanda. NICA (Netherlands Indies Civil Administration) ikut membonceng bersama rombongan tentara Inggris untuk tujuan tersebut. Hal ini memicu gejolak rakyat Indonesia dan memunculkan pergerakan perlawanan rakyat Indonesia di mana-mana melawan tentara AFNEI dan pemerintahan NICA.

    Insiden di Hotel Yamato, Tunjungan, Surabaya
    Setelah munculnya maklumat pemerintah Indonesia tanggal 31 Agustus 1945 yang menetapkan bahwa mulai 1 September 1945 bendera nasional Sang Saka Merah Putih dikibarkan terus di seluruh wilayah Indonesia, gerakan pengibaran bendera tersebut makin meluas ke segenap pelosok kota Surabaya. Klimaks gerakan pengibaran bendera di Surabaya terjadi pada insiden perobekan bendera di Yamato Hoteru / Hotel Yamato (bernama Oranje Hotel atau Hotel Oranye pada zaman kolonial, sekarang bernama Hotel Majapahit) di Jl. Tunjungan no. 65 Surabaya.
    Sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan Mr. W.V.Ch Ploegman pada sore hari tanggal 18 September 1945, tepatnya pukul 21.00, mengibarkan bendera Belanda (Merah-Putih-Biru), tanpa persetujuan Pemerintah RI Daerah Surabaya, di tiang pada tingkat teratas Hotel Yamato, sisi sebelah utara. Keesokan harinya para pemuda Surabaya melihatnya dan menjadi marah karena mereka menganggap Belanda telah menghina kedaulatan Indonesia, hendak mengembalikan kekuasan kembali di Indonesia, dan melecehkan gerakan pengibaran bendera Merah Putih yang sedang berlangsung di Surabaya.
    Tak lama setelah mengumpulnya massa di Hotel Yamato, Residen Sudirman, pejuang dan diplomat yang saat itu menjabat sebagai Wakil Residen (Fuku Syuco Gunseikan) yang masih diakui pemerintah Dai Nippon Surabaya Syu, sekaligus sebagai Residen Daerah Surabaya Pemerintah RI, datang melewati kerumunan massa lalu masuk ke hotel Yamato dikawal Sidik dan Hariyono. Sebagai perwakilan RI dia berunding dengan Mr. Ploegman dan kawan-kawannya dan meminta agar bendera Belanda segera diturunkan dari gedung Hotel Yamato. Dalam perundingan ini Ploegman menolak untuk menurunkan bendera Belanda dan menolak untuk mengakui kedaulatan Indonesia. Perundingan berlangsung memanas, Ploegman mengeluarkan pistol, dan terjadilah perkelahian dalam ruang perundingan. Ploegman tewas dicekik oleh Sidik, yang kemudian juga tewas oleh tentara Belanda yang berjaga-jaga dan mendengar letusan pistol Ploegman, sementara Sudirman dan Hariyono melarikan diri ke luar Hotel Yamato. Sebagian pemuda berebut naik ke atas hotel untuk menurunkan bendera Belanda. Hariyono yang semula bersama Sudirman kembali ke dalam hotel dan terlibat dalam pemanjatan tiang bendera dan bersama Kusno Wibowo berhasil menurunkan bendera Belanda, merobek bagian birunya, dan mengereknya ke puncak tiang bendera kembali sebagai bendera Merah Putih.
    Setelah insiden di Hotel Yamato tersebut, pada tanggal 27 Oktober 1945 meletuslah pertempuran pertama antara Indonesia melawan tentara Inggris . Serangan-serangan kecil tersebut di kemudian hari berubah menjadi serangan umum yang banyak memakan korban jiwa di kedua belah pihak Indonesia dan Inggris, sebelum akhirnya Jenderal D.C. Hawthorn meminta bantuan Presiden Sukarno untuk meredakan situasi.

                                                                   
    Kematian Brigadir Jenderal Mallaby  
      
    Setelah gencatan senjata antara pihak Indonesia dan pihak tentara Inggris ditandatangani tanggal 29 Oktober 1945, keadaan berangsur-angsur mereda. Walaupun begitu tetap saja terjadi bentrokan-bentrokan bersenjata antara rakyat dan tentara Inggris di Surabaya. Bentrokan-bentrokan bersenjata di Surabaya tersebut memuncak dengan terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, (pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur), pada 30 Oktober 1945 sekitar pukul 20.30. Mobil Buick yang ditumpangi Brigadir Jenderal Mallaby berpapasan dengan sekelompok milisi Indonesia ketika akan melewati Jembatan Merah. Kesalahpahaman menyebabkan terjadinya tembak menembak yang berakhir dengan tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby oleh tembakan pistol seorang pemuda Indonesia yang sampai sekarang tak diketahui identitasnya, dan terbakarnya mobil tersebut terkena ledakan granat yang menyebabkan jenazah Mallaby sulit dikenali. Kematian Mallaby ini menyebabkan pihak Inggris marah kepada pihak Indonesia dan berakibat pada keputusan pengganti Mallaby, Mayor Jenderal E.C. Mansergh untuk mengeluarkan ultimatum 10 November 1945 untuk meminta pihak Indonesia menyerahkan persenjataan dan menghentikan perlawanan pada tentara AFNEI dan administrasi NICA. 

    Perdebatan tentang pihak penyebab baku tembak
    Tom Driberg, seorang Anggota Parlemen Inggris dari Partai Buruh Inggris (Labour Party). Pada 20 Februari 1946, dalam perdebatan di Parlemen Inggris (House of Commons) meragukan bahwa baku tembak ini dimulai oleh pasukan pihak Indonesia. Dia menyampaikan bahwa peristiwa baku tembak ini disinyalir kuat timbul karena kesalahpahaman 20 anggota pasukan India pimpinan Mallaby yang memulai baku tembak tersebut tidak mengetahui bahwa gencatan senjata sedang berlaku karena mereka terputus dari kontak dan telekomunikasi. Berikut kutipan dari Tom Driberg: 
    “… Sekitar 20 orang (serdadu) India (milik Inggris), di sebuah bangunan di sisi lain alun-alun, telah terputus dari komunikasi lewat telepon dan tidak tahu tentang gencatan senjata. Mereka menembak secara sporadis pada massa (Indonesia). Brigadir Mallaby keluar dari diskusi (gencatan senjata), berjalan lurus ke arah kerumunan, dengan keberanian besar, dan berteriak kepada serdadu India untuk menghentikan tembakan. Mereka patuh kepadanya. Mungkin setengah jam kemudian, massa di alun-alun menjadi bergolak lagi. Brigadir Mallaby, pada titik tertentu dalam diskusi, memerintahkan serdadu India untuk menembak lagi. Mereka melepaskan tembakan dengan dua senapan Bren dan massa bubar dan lari untuk berlindung; kemudian pecah pertempuran lagi dengan sungguh gencar. Jelas bahwa ketika Brigadir Mallaby memberi perintah untuk membuka tembakan lagi, perundingan gencatan senjata sebenarnya telah pecah, setidaknya secara lokal. Dua puluh menit sampai setengah jam setelah itu, ia (Mallaby) sayangnya tewas dalam mobilnya-meskipun (kita) tidak benar-benar yakin apakah ia dibunuh oleh orang Indonesia yang mendekati mobilnya; yang meledak bersamaan dengan serangan terhadap dirinya (Mallaby).
    Saya pikir ini tidak dapat dituduh sebagai pembunuhan licik… karena informasi saya dapat secepatnya dari saksi mata, yaitu seorang perwira Inggris yang benar-benar ada di tempat kejadian pada saat itu, yang niat jujurnya saya tak punya alasan untuk pertanyakan “
                                                                                           

    Ultimatum 10 November 1945
    Setelah terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, penggantinya, Mayor Jenderal Mansergh mengeluarkan ultimatum yang menyebutkan bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas. Batas ultimatum adalah jam 6.00 pagi tanggal 10 November 1945.
    Ultimatum tersebut kemudian dianggap sebagai penghinaan bagi para pejuang dan rakyat yang telah membentuk banyak badan-badan perjuangan / milisi. Ultimatum tersebut ditolak oleh pihak Indonesia dengan alasan bahwa Republik Indonesia waktu itu sudah berdiri, dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) juga telah dibentuk sebagai pasukan negara. Selain itu, banyak organisasi perjuangan bersenjata yang telah dibentuk masyarakat, termasuk di kalangan pemuda, mahasiswa dan pelajar yang menentang masuknya kembali pemerintahan Belanda yang memboncengi kehadiran tentara   Inggris di Indonesia.

    Pada 10 November pagi, tentara Inggris mulai melancarkan serangan berskala besar, yang diawali dengan bom udara ke gedung-gedung pemerintahan Surabaya, dan kemudian mengerahkan sekitar 30.000 infanteri, sejumlah pesawat terbang, tank, dan kapal perang.
    Berbagai bagian kota Surabaya dibombardir dan ditembak dengan meriam dari laut dan darat. Perlawanan pasukan dan milisi Indonesia kemudian berkobar di seluruh kota, dengan bantuan yang aktif dari penduduk. Terlibatnya penduduk dalam pertempuran ini mengakibatkan ribuan penduduk sipil jatuh menjadi korban dalam serangan tersebut, baik meninggal mupun terluka.
    Di luar dugaan pihak Inggris yang menduga bahwa perlawanan di Surabaya bisa ditaklukkan dalam tempo tiga hari, para tokoh masyarakat seperti pelopor muda Bung Tomo yang berpengaruh besar di masyarakat terus menggerakkan semangat perlawanan pemuda-pemuda Surabaya sehingga perlawanan terus berlanjut di tengah serangan skala besar Inggris. Tokoh-tokoh agama yang terdiri dari kalangan ulama serta kyai-kyai pondok Jawa seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah serta kyai-kyai pesantren lainnya juga mengerahkan santri-santri mereka dan masyarakat sipil sebagai milisi perlawanan (pada waktu itu masyarakat tidak begitu patuh kepada pemerintahan tetapi mereka lebih patuh dan taat kepada para kyai) sehingga perlawanan pihak Indonesia berlangsung lama, dari hari ke hari, hingga dari minggu ke minggu lainnya. Perlawanan rakyat yang pada awalnya dilakukan secara spontan dan tidak terkoordinasi, makin hari makin teratur. Pertempuran skala besar ini mencapai waktu sampai tiga minggu, sebelum seluruh kota Surabaya akhirnya jatuh di tangan pihak Inggris.
    Setidaknya 6,000 pejuang dari pihak Indonesia tewas dan 200,000 rakyat sipil mengungsi dari Surabaya. [2]. Korban dari pasukan Inggris dan India kira-kira sejumlah 600. Pertempuran berdarah di Surabaya yang memakan ribuan korban jiwa tersebut telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan. Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat sipil yang menjadi korban pada hari 10 November ini kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan oleh Republik Indonesia hingga sekarang.



    Isi Dari Pidato Bung Tomo :                                                  Bismillahirrohmanirrohim..
    MERDEKA!!!
    Saudara-saudara rakyat jelata di seluruh Indonesia
    terutama saudara-saudara penduduk kota Surabaya
    kita semuanya telah mengetahui bahwa hari ini
    tentara inggris telah menyebarkan pamflet-pamflet
    yang memberikan suatu ancaman kepada kita semua
    kita diwajibkan untuk dalam waktu yang mereka tentukan
    menyerahkan senjata-senjata yang telah kita rebut dari tangannya tentara jepang
    mereka telah minta supaya kita datang pada mereka itu dengan mengangkat tangan
    mereka telah minta supaya kita semua datang pada mereka itu dengan membawa bendera puitih tanda bahwa kita menyerah kepada mereka
    Saudara-saudara
    di dalam pertempuran-pertempuran yang lampau kita sekalian telah menunjukkan
    bahwa rakyat Indonesia di Surabaya
    pemuda-pemuda yang berasal dari Maluku
    pemuda-pemuda yang berawal dari Sulawesi
    pemuda-pemuda yang berasal dari Pulau Bali
    pemuda-pemuda yang berasal dari Kalimantan
    pemuda-pemuda dari seluruh Sumatera
    pemuda Aceh, pemuda Tapanuli, dan seluruh pemuda Indonesia yang ada di surabaya ini
    di dalam pasukan-pasukan mereka masing-masing
    dengan pasukan-pasukan rakyat yang dibentuk di kampung-kampung
    telah menunjukkan satu pertahanan yang tidak bisa dijebol
    telah menunjukkan satu kekuatan sehingga mereka itu terjepit di mana-mana
    hanya karena taktik yang licik daripada mereka itu saudara-saudara
    dengan mendatangkan presiden dan pemimpin2 lainnya ke Surabaya ini
    maka kita ini tunduk utuk memberhentikan pentempuran
    tetapi pada masa itu mereka telah memperkuat diri
    dan setelah kuat sekarang inilah keadaannya
    Saudara-saudara kita semuanya
    kita bangsa indonesia yang ada di Surabaya ini
    akan menerima tantangan tentara inggris itu
    dan kalau pimpinan tentara inggris yang ada di Surabaya
    ingin mendengarkan jawaban rakyat Indoneisa
    ingin mendengarkan jawaban seluruh pemuda Indoneisa yang ada di Surabaya ini
    dengarkanlah ini tentara inggris
    ini jawaban kita
    ini jawaban rakyat Surabaya
    ini jawaban pemuda Indoneisa kepada kau sekalian
    hai tentara inggris
    kau menghendaki bahwa kita ini akan membawa bendera putih untuk takluk kepadamu
    kau menyuruh kita mengangkat tangan datang kepadamu
    kau menyuruh kita membawa senjata2 yang telah kita rampas dari tentara jepang untuk diserahkan kepadamu
    tuntutan itu walaupun kita tahu bahwa kau sekali lagi akan mengancam kita
    untuk menggempur kita dengan kekuatan yang ada
    tetapi inilah jawaban kita:
    selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah
    yang dapat membikin secarik kain putih merah dan putih
    maka selama itu tidak akan kita akan mau menyerah kepada siapapun juga
    Saudara-saudara rakyat Surabaya, siaplah! keadaan genting!
    tetapi saya peringatkan sekali lagi
    jangan mulai menembak
    baru kalau kita ditembak
    maka kita akan ganti menyerang mereka itukita tunjukkan bahwa kita ini adalah benar-benar orang yang ingin merdeka
    Dan untuk kita saudara-saudara
    lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka
    semboyan kita tetap: merdeka atau mati!
    Dan kita yakin saudara-saudara
    pada akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita
    sebab Allah selalu berada di pihak yang benar
    percayalah saudara-saudara
    Tuhan akan melindungi kita sekalian
    Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!
    MERDEKA!!!    

    0 komentar:

    Kisah Pertempuran Lima Hari di Semarang

    Kisah Pertempuran Lima Hari di Semarang


    13817319491576995168
    Monumen Tugu Muda
              Malam ini, malam tanggal 15 Oktober 2013, masyarakat Semarang memperingati kisah heroik yang terkenal dengan Pertempuran Lima Hari di Semarang. Peringatan dipusatkan di lingkaran Tugu Muda sebagai monumen yang diresmikan oleh Ir. Soekarno pada tanggal 20 Mei 1953 untuk mengenang jasa-jasa para pejuang pemuda Semarang melawan penjajahan Jepang.
    Dengan menyerahnya Jepang terhadap Sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945 dan menyusul diproklamasikannya Republik Indonesia 17 Agustus 1945, seharusnya selesailah kekuasaan Jepang di Indonesia. Dan ditunjuknya Mr Wongsonegoro sebagai penguasa ( gubernur ) Republik Indonesia untuk Jawa Tengah dengan pusat pemerintahannya di Semarang, maka kewajiban pemerintah di Jawa Tengah untuk mengambil alih kekuasaan yang selama ini dipegang oleh Jepang meliputi pemerintahan dan keamanan. Maka dibentuklah Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang kemudian menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR).
    Berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia membuat rakyat Semarang khususnya pemuda terlibat aksi perlucutan senjata tentara Jepang tanpa kekerasan. Aksi perlucutan senjata tanpa kekerasan ini terjadi di beberapa daerah kota dan kabupaten. Tetapi kekerasan justru terjadi di Semarang, Ibukota Provinsi Jawa Tengah. Tanggal 13 Oktober 1945, Tentara JepangKidobutai yang bermarkas di Jatingaleh menolak penyerahan senjata sehingga terjadi ketegangan antara pemuda dan tentara Jepang. Termasuk Mayor Kido sang komandan yang pada tanggal 14 Oktober 1945 tidak memberikan persetujuannya meskipun dijamin oleh Gubernur Wongsonegoro bahwa senjata tersebut tidak digunakan untuk melawan Jepang.
    Para pemudapun marah dan curiga karena saat itu berbarengan dengan Sekutu yang telah mendaratkan pasukannya di Pulau Jawa. Para pemuda kuatir kalau senjata-senjata itu akan diserahkan kepada Sekutu sehingga berpendapat mereka harus bisa memperoleh senjata sebelum Sekutu mendarat di Semarang. Karena diperkirakan Sekutu akan diboncengi Belanda yang tujuannya akan menjajah Indonesia lagi.
    Malam tanggal 15 Oktober 1945 keadaan kota Semarang sangat mencekam. Di kampung-kampung yang menjadi basis BKR para pemudanya tampak dalam keadaan siap. Mereka terdiri dari gabungan BKR, Polisi Istimewa, AMRI, AMKA (Angkatan Muda Kereta Api) dan beberapa organisasi pemuda. Sementara pasukan Jepang mendapat tambahan pasukan tempur dari Irian Jaya yang dalam perjalanan ke Jakarta, karena kehabisan logistik maka mendarat di Semarang. Sedangkan para pemuda sendiri belum punya pengalaman bertempur kecuali Polisi dan ex-PETA atau Heiho.
    Pertempuran antara Jepang melawan para pemuda ini berkobar sejak dari Cepiring (30km sebelah barat Semarang) hingga Jatingaleh daerah kota atas. Di Jatingaleh pasukan Jepang yang berhasil dipukul mundur oleh para pemuda bergabung dengan Kidobutai yang bermarkas di Jatingaleh. Suasana kota Semarang menjadi panas dan terdengar kabar bahwa pasukan Kidobutai akan mengadakan serangan balasan terhadap pemuda Semarang. Pasukan Jepang bersenjata lengkap melancarkan serangan mendadak sekaligus melucuti senjata delapan Polisi Istimewa yang sedang menjaga sumber air minum bagi warga kota Semarang. Kedelapan polisi itu dibawa dan disiksa ke markas Kidobutai di Jatingaleh, seiring dengan meluasnya desas desus yang menggelisahkan masyarakat bahwa reservoir (cadangan air minum) Siranda di Candi Lama akan diracuni oleh tentara Jepang.
    Selepas Maghrib, setelah mendapat telepon dari pimpinan Pusat Rumah Sakit Rakyat (Purusara) dr. Karyadi yang menjabat sebagai Kepala Laboratorium Purusara langsung meluncur ke Siranda untuk mengecek kebenarannya. Meskipun istri beliau drg. Soenarti telah mencegahnya untuk pergi karena suasana yang sangat membahayakan. Tetapi dr Karyadi berpendapat lain, ia harus menyelidiki desas-desus itu karena menyangkut nyawa ribuan warga Semarang. Dan kenyataannya dr. Karyadi tidak pernah sampai ke tujuan, jenazahnya ditemukan di jalan Pandanaran karena dibunuh secara keji oleh tentara Jepang. Dokter muda ini gugur dalam usia 40 tahun. (namanya kemudian diabadikan menjadi RSUP Dr Karyadi di Semarang).
    Berita gugurnya dr Karyadi menyulut kemarahan warga Semarang. Dan terjadilah pertempuran yang meluas ke berbagai penjuru kota. Korban banyak berjatuhan dimana-mana. Kidobutai benar-benar melancarkan serangannya ke tengah-tengah kota Semarang. Dinihari tanggal 15 Oktober 1945 pasukan Kidobutai yang berjumlah sekitar 500-1000 orang tiba-tiba melakukan serangan terhadap markas BKR. Mereka diserang dari dua jurusan dengan tembakan tekidanto (pelempar granat) dan senapan mesin. Pertempuran yang tidak imbang membuat pemuda BKR tidak dapat mempertahankan markasnya. Pada tanggal 17 Oktober 1945 tentara Jepang meminta gencatan senjata namun diam-diam melakukan serangan ke kampung-kampung. Tanggal 19 Oktober 1945 pertempuran masih berlangsung di berbagai penjuru kota. Dan pertempuran berakhir setelah kedatangan tentara Sekutu yang mendarat di pelabuhan Semarang dengan kapal HMS Glenry sehingga mempercepat perdamaian antara Jepang dan rakyat. Pertempuran yang berlangsung selama lima hari ini memakan korban sekitar 2000 pihak Indonesia dan 850 tentara Jepang.
    Monumen Tugu Muda yang menjadi pusat peringatan Pertempuran Lima Hari di Semarang terletak di kawasan yang banyak merekam peristiwa pertempuran selama lima hari. Dan Bangunan Lawang Sewu yang berdiri kokoh di seberangnya menjadi saksi bisu kebiadaban tentara Jepang terhadap pemuda-pemuda kereta api yang disiksa dan dibunuh atau dipenjara di dalam gedung.

    0 komentar: